Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyoroti operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Rabu (20/5).OTT ini sangat tidak berkelas dan sangat memalukan karena KPK saat ini OTT hanya level kampus, hanya uang THR dan lebih parah lagi kemudian penanganannya diserahkan kepada polisi dengan alasan tidak ada penyelenggara negaranya
"OTT ini sangat tidak berkelas dan sangat memalukan karena KPK saat ini OTT hanya level kampus, hanya uang THR dan lebih parah lagi kemudian penanganannya diserahkan kepada polisi dengan alasan tidak ada penyelenggara negaranya," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman melalui keterangannya di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, pelimpahan kepada Kepolisian karena tidak adanya unsur penyelenggara negara juga sangat janggal karena apapun rektor merupakan jabatan tinggi di Kemendikbud.
Baca juga: KPK benarkan telah lakukan OTT di Kemendikbud
"Mestinya KPK tetap lanjut tangani sendiri dan tidak serahkan kepada polisi. Rektor adalah penyelenggara negara karena ada kewajiban laporkan hartanya. Kalau KPK bilang tidak ada penyelenggara negara, bagaimana polisi memrosesnya, apa dengan pasal pungutan liar? Ini yang akan menyulitkan polisi menerima limpahan dari KPK," tuturnya.
Ia pun menilai kegiatan OTT di Kemendikbud tersebut terlihat jelas tidak adanya perencanaan dan pendalaman informasi yang masuk oleh KPK.
"Setiap info biasanya oleh KPK dibahas dan didalami sangat detil mulai dari penerimaan pengaduan masyarakat sampai dengan keputusan untuk OTT (baik menyangkut siapa penyelenggara negara, apa modusnya sampai apakah suap atau gratifikasi) sehingga ketika sudah OTT maka tidak ada istilah tidak ditemukan penyelenggara negaranya," ucapnya menegaskan.
MAKI pun, kata dia, akan segera membuat pengaduan kepada Dewan Pengawas KPK atas amburadulnya OTT di Kemendikbud tersebut.
Diketahui, OTT itu berawal dengan adanya bantuan dan informasi dari pihak Itjen Kemendikbud kepada KPK perihal dugaan akan adanya penyerahan sejumlah uang yang diduga dari Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Komarudin kepada pejabat di Kemendikbud.
Tim KPK bersama dengan tim Itjen Kemendikbud menindaklanjuti informasi tersebut dan kemudian diamankan Kabag Kepegawaian UNJ Dwi Achmad Noor beserta barang bukti berupa uang sebesar 1.200 dolar AS dan Rp27,5 juta.
Komarudin pada 13 Mei 2020 diduga telah meminta kepada Dekan Fakultas dan Lembaga di UNJ untuk mengumpulkan uang Tunjangan Hari Raya (THR) masing-masing Rp5 juta melalui Dwi Achmad Noor.
Baca juga: Kemendikbud tunggu hasil pemeriksaan polisi soal kasus pemberian THR
THR tersebut rencananya akan diserahkan kepada Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti Kemendikbud dan beberapa staf SDM di Kemendikbud. Pada 19 Mei 2020 terkumpul uang sebesar Rp55 juta dari delapan fakultas, dua lembaga penelitian, dan pascasarjana.
Kemudian pada 20 Mei 2020, Dwi Achmad Noor membawa uang Rp37 juta ke kantor Kemendikbud selanjutnya diserahkan kepada Karo SDM Kemendikbud sebesar Rp5 juta, Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud sebesar Rp2,5 juta serta Parjono dan Tuti (staf SDM Kemendikbud) masing-masing Rp1 juta.
Setelah itu, Dwi Achmad Noor diamankan tim KPK dan Itjen Kemendikbud. Selanjutnya, KPK melakukan serangkaian permintaan keterangan antara lain terhadap Komarudin, Dwi Achmad Noor, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Sofia Hartati, Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud Tatik Supartiah, Karo SDM Kemendikbud Diah Ismayanti, staf SDM Kemendikbud Dinar Suliya, dan Staf SDM Kemendikbud Parjono.
Setelah dilakukan permintaan keterangan, belum ditemukan unsur pelaku penyelenggara negara sehingga selanjutnya dengan mengingat kewenangan, tugas pokok dan fungsi KPK maka KPK melalui unit Koordinasi dan Supervisi Penindakan menyerahkan kasus tersebut kepada Kepolisian RI untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020