Jika ada satu murid yang sakit, besar kemungkinan penyakit itu akan menular ke banyak orang.
Genap delapan tahun lamanya Afif belajar di pesantren. Enam tahun pertama di Madrasah Ibtidaiyah (sekolah dasar) dijalani tanpa tinggal di pondokan karena kediaman sang nenek dekat dari sekolah.
Ketika masuk Madrasah Tsanawiyah (sekolah menengah pertama), barulah Afif mencoba tinggal bersama santri lain di pesantren.
Dua tahun dia hidup komunal di pesantren hingga memutuskan untuk keluar atas berbagai alasan.
Tapi pengalamannya selama hidup di pesantren masih nyata di benaknya hingga dia menjadi mahasiswa kedokteran.
Pengalaman itu mendorong lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Jambi mendirikan Gerakan Pesantren Sehat (GPS) bersama teman-temannya pada Mei 2017.
Mereka mendatangi pondok pesantren untuk memberikan penyuluhan kesehatan, berbagi informasi seputar Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) bersama santri, berdiskusi lewat tanya jawab hingga membuat kegiatan dokter pesantren (doktren) laiknya dokter cilik di sekolah dasar sebagai agen kesehatan.
"Alhamdulillah, respons dari pihak pesantren yang didatangi positif dan mereka menerima dengan baik, jadi kami lebih semangat," kata Afif kepada ANTARA.
"Kebersihan sebagian dari iman" yang mencerminkan ajaran agama untuk selalu menjaga kebersihan idealnya sudah dipahami betul oleh santri. Namun, berkaca dari pengalamannya di pesantren, Afif menuturkan pemahaman dasar mengenai kebersihan belum sepenuhnya diterapkan.
Benda-benda yang harusnya dipakai secara terpisah -seperti sabun, sikat gigi dan handuk- bisa saja masih dipakai beramai-ramai.
"Dulu sekamar 12 orang, terus handuk digantung di ranjang. Kadang waktu jam mandi asal ambil saja, bodo amat (punya siapa)," kenang dokter kelahiran Muara Enim, 13 Maret 1992.
Penyakit kulit lazim ditemui. Bahkan ada anggapan nyeleneh bahwa seorang santri belum seutuhnya jadi santri jika belum pernah terkena panu.
Ketika kembali lagi ke pesantren setelah beberapa tahun berlalu, Afif berpendapat kesadaran santri mengenai kesehatan belum banyak berkembang.
"Tradisi untuk berbagi barang-barang di pesantren masih berjalan, kami berusaha sedikit demi sedikit memberitahu [(praktik yang sehat])," ujar pendiri proyek Duduk (Ngopi) Bareng.
Namun bukan berarti tidak ada perbaikan. Pemerintah mulai mencanangkan program Pusat Kesehatan Pondok Pesantren (Puskestren) yang sejalan dengan semangat GPS.
"Tapi aktualisasi di lapangan itu masih banyak yang sekadar ada, seperti pengurus yang bertanggung jawab belum ada. Kita berusaha masuk dan membuat agen lewat kegiatan doktren untuk memanfaatkan fasilitas yang telah ada."
Gerakan ini difokuskan untuk pesantren yang masih tradisional, berbeda dari pesantren modern yang banyak ditemui di pulau Jawa.
"Kalau ke Jambi, masih banyak pesantren tradisional yang bayarnya bisa pakai beras, fasilitas masih seadanya," ujar peserta Southeast Asian and Japanese Youth Program (SSEAYP) International Indonesia 2018.
Targetnya adalah anak-anak Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, sekolah dasar dan menengah pertama, sebab yang diajarkan adalah materi-materi mendasar, termasuk cuci tangan yang benar seperti anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selama pandemi virus corona.
"Sekarang di tengah pandemi begitu ke pesantren mereka sudah biasa dengan cara mencuci tangan yang benar, ternyata dampaknya kelihatan pada masa-masa seperti sekarang. Alhamdulillah sudah diajarkan sejak jauh-jauh hari."
Selama tiga tahun, GPS merangkul enam pondok pesantren dengan jumlah santri sekitar 1.000 orang. Jumlahnya memang masih hitungan jari, sebab GPS punya program yang intensif. Bukan cuma datang sekali untuk memberi penyuluhan, mereka terus mengevaluasi perkembangan para santri dan mengukur perubahan nyata untuk memastikan manfaatnya betul-betul terasa.
Suka dan duka
Inisiatif Afif disambut positif oleh para relawan yang bersemangat untuk membantu menyebarkan nilai-nilai kesehatan kepada santri-santri muda di Jambi.
"Makin ke sini, komunitas semakin berkembang, sehingga semakin banyak pemuda yang tertarik untuk ikut," ujar Afif.
"Kami semakin bersemangat karena ternyata cukup diapresiasi, teman-teman lain juga melihat ini gerakan positif dan mereka mau berkontribusi."
Tapi di sisi lain, relawan masih hilang dan timbul. Meski awalnya banyak yang berminat mendaftar, ketika tiba saatnya untuk mendatangi pesantren, yang datang jauh lebih sedikit.
Afif maklum, sebab sebagian besar adalah mahasiswa yang punya kesibukan lain. Uang saku mereka pun terbatas, padahal ada pesantren yang lokasinya terpencil, sehingga membuat mereka harus merogoh kocek sendiri.
"Ada pesantren yang kita harus ke sana naik perahu kecil, ada biayanya, dan itu jadi hambatan sebagian orang untuk hadir karena ongkos jalannya lumayan," tutur Afif.
Sejauh ini, pembiayaan GPS masih swadaya, dibantu dengan sumbangan dari berbagai donatur. "Tantangannya, kami belum melegalkan secara hukum, kadang ada donatur yang bertanya 'ini sudah legalitasnya atau belum?'"
Dia berusaha memberikan transparansi dengan memaksimalkan media sosial dalam mengumumkan kegiatan GPS.
"Kita percaya masih banyak orang baik yang membantu. Tiap pembinaan pasti kami open donation, sebar lewat WA, cari ke teman-teman, lingkungan, siapa yang mau bantu. Sejauh ini cukup-cukup saja," katanya.
Menyebarkan semangat ke Nusantara
Afif punya mimpi besar untuk GPS. Meski dimulai dari Jambi, dia berharap GPS bisa diadopsi di seluruh penjuru Nusantara agar kualitas kesehatan semua santri meningkat.
"Lingkungan pesantren itu kan beda dengan di rumah karena kita tinggal berkelompok. Segala sesuatu di kelompok itu bisa banget tersebar. Pengendalian dan kesadaran santri untuk lebih paham dan serius tentang kesehatan personal harus diperhatikan," kata dia.
Afif adalah penerima apresiasi bidang kesehatan di Satu Indonesia Awards 2019 dari Astra. Awalnya, dia sama sekali tidak berniat untuk ikut mendaftar. Inisiatif justru datang dari dua rekannya sesama pengurus GPS.
Tanpa ekspektasi apa-apa, Afif dikabarkan lolos hingga 15 besar dan diundang untuk mempresentasikan GPS di hadapan para juri di Jakarta.
Kebetulan, saat itu ia sedang menjalani masa bimbingan program Nusantara Sehat dari Kementerian Kesehatan, yang kini menugaskannya untuk mengabdi sebagai tenaga kesehatan di Muara Jambi.
Dua momentum penting bagi Afif harus dijalani secara berbarengan. Beruntung, keduanya bisa dijalani dengan baik meski dia sempat berkecil hati saat harus membagi waktu.
"Hari kedua pelatihan Nusantara Sehat, aku harus balik ke SATU Indonesia Awards buat presentasi, aku sudah drop juga, tapi harus menyiapkan presentasi di depan 12 juri," kenang dia.
Perjuangannya berbuah manis. Semenjak dapat penghargaan, Gerakan Pesantren Sehat semakin banyak dikenal. Minat relawan di Jambi pun semakin meningkat.
"Menurutku, SATU Indonesia Awards harus ada setiap tahun. Aku bersyukur ternyata kerjaan di daerah dapat perhatian dari pusat, merasa banget diapresiasi," ujar Afif.
Mengikuti SATU Indonesia Awards 2019 membuat Afif mengenal finalis lain yang tak kalah inspiratif dan mendorongnya untuk terus berkontribusi untuk masyarakat segenap tenaga.
Afif berpesan kepada calon SATU Indonesia Awards 2020 untuk berkarya secara tulus tanpa pamrih.
"Perbaiki niat, pengalamanku sendiri pas ikut SATU Indonesia Awards, (penghargaan) bukan jadi tujuan. Jika sudah melakukan sesuatu dan ada dampaknya untuk masyarakat, kalau diapresiasi itu adalah rencana Tuhan."
Memasuki penyelenggaraan di tahun kesebelas, SATU Indonesia Awards mencari generasi muda yang tak kenal lelah memberi manfaat bagi masyarakat. Kategorinya yakni bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, Teknologi dan satu kategori kelompok yang mewakili lima bidang tersebut serta ada pula satu tambahan kategori apresiasi khusus bagi pejuang tanpa pamrih di masa pandemi COVID-19.
Harapannya dengan adanya kategori apresiasi khusus ini, Astra dapat lebih banyak lagi menjaring anak muda yang patut diapresiasi atas usaha mereka yang senantiasa memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Periode pendaftaran SATU Indonesia Awards 2020 dibuka sejak tanggal 2 Maret – 2 Agustus 2020 melalui www.satu-indonesia.com.
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2020