Keadaan darurat yang diumumkan pada akhir Maret terjadi dengan dilatarbelakangi aksi protes mahasiswa terhadap pelarangan partai yang menentang Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha.
Dengan berkurangnya kasus baru, sejumlah tokoh oposisi beranggapan bahwa dekret darurat harus dibiarkan berakhir.
"Perdana menteri ingin mengatakan bahwa sejak awal penggunaan dekret darurat dan setiap perpanjangan, kami mendasarkan hal ini pada alasan kesehatan masyarakat dan bukan alasan politik," kata juru bicara pemerintah, Narumon Pinyosinwat, usai rapat kabinet pada Selasa.
Thailand merupakan negara pertama di luar China yang melaporkan kasus virus corona pada 13 Januari.
Virus corona jenis baru itu telah menyebar ke seluruh dunia, hingga menginfeksi 5,5 juta orang dan menelan 350.000 korban jiwa.
Thailand mencatat 3.045 kasus terkonfirmasi dengan 57 kematian, yang sejauh ini menjadi kisah sukses di antara banyak negara tetangga Asia Tenggara.
Prayuth pertama kali merebut kekuasaan melalui kudeta militer 2014, dan pemilu yang disengketakan tahun lalu menghasilkan pemerintahan koalisi yang dipimpin oleh partai protentara di bawah naungannya.
Dekret darurat memberikan otoritas luas untuk membatasi pertemuan, memerintahkan penutupan usaha, memberlakukan jam malam dan menyensor media, banyak wewenang sama dengan yang dimiliki mantan junta.
Namun, juru bicara pemerintah Narumon menyebutkan bahwa masih terlalu awal untuk menyatakan darurat berakhir.
"Kami harus mempertahankan dekret darurat sebagai alat untuk mengatur situasi sehingga kami dapat mengatasi ini," katanya.
Sumber: Reuters
Baca juga: Thailand kembali laporkan nol kasus corona pada Mei
Baca juga: Thailand akan perpanjang status darurat virus corona hingga akhir Juni
Baca juga: Thailand harap Vaksin COVID-19 buatan sendiri siap dipakai tahun depan
Anies : Lindungi Jakarta, jangan keluar masuk
Pewarta: Asri Mayang Sari
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020