"DPP IMM menilai dalam situasi seperti ini, pilihan 'new normal' berbahaya dan cenderung menjerumuskan rakyat kepada wabah COVID-19," kata Imam saat dihubungi dari Jakarta, Rabu.
Baca juga: Satgas COVID-19 DPR tinjau protokol "new normal" ke Kemenkes
Dia mengatakan jika ditarik ke belakang, berbagai kebijakan pemerintah mengatasi dampak COVID-19 kerap menemui kendala teknis di lapangan, seperti program bantuan sosial, kebijakan anggaran, kebijakan protokol, pembatasan sosial dan lain-lain.
Menurut dia, pemerintah menemui persoalan-persoalan pemuktahiran data, kebijakan antara pusat dan daerah yang tidak sesuai, kebijakan pengelolaan anggaran yang dikritik mekanismenya oleh kelompok masyarakat sipil, pembatasan sosial yang tidak dibarengi dengan mekanisme yang ketat mengakibatkan potensi penularan masyarakat tetap tinggi.
"Akibatnya, sampai hari ini apa yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi COVID-19 belum memberikan dampak terhadap penurunan kasus penularan," katanya
Imam mengatakan upaya pemerintah dalam melakukan tes medis terhadap virus corona jenis baru juga belum dilakukan secara merata, sehingga ada kemungkinan angka kasus virus terus naik.
Baca juga: Marwan dukung "Era Normal Baru" dengan disiplin ala militer
Baca juga: Pakar sebut ruang siber salah satu solusi "The New Normal"
"Sebaiknya, pemerintah melakukan evaluasi dulu terhadap kebijakan-kebijakan yang telah diambil sebelum naik ke tahap kebijakan 'new normal'," katanya.
Mengutip Badan Kesehatan Dunia (WHO), kata dia, kebijakan "new normal" hanya diberlakukan di negara yang berhasil mengendalikan kasus COVID-19, seperti China, Taiwan, Jerman dan lain-lain.
Sementara di Indonesia, lanjut dia, memiliki angka kasus yang masih tinggi, sehingga kebijakan "new normal" jika diterapkan terlalu berbahaya.
Baca juga: Analis: Skenario "new normal" beri optimisme pelaku pasar
"Jangan sampai menimbulkan gelombang penyebaran virus yang lebih besar lagi dari apa yang dialami saat ini. Dengan angka penderita dan angka kematian yang jauh lebih tinggi, hal ini seharusnya diantisipasi, sebab negara kita masih sangat terbatas ketersediaan alat kesehatan ditambah belum adanya vaksin yang ditemukan akan semakin memperburuk keadaan," katanya.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020