Kang Emil, sapaan Ridwan Kamil didampingi Ketua TP PKK Provinsi Jabar Atalia Ridwan Kamil meninjau rumah ibadah di Kabupaten Bandung Barat (KBB), yakni Masjid Al-Irsyad Kota Baru Parahyangan serta Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Padalarang, Sabtu.
Adaptasi kebiasaan baru (AKB) dalam aktivitas keagamaan di rumah ibadah merupakan Tahap I AKB bagi 15 Zona Biru (Level Dua) di Jabar, salah satunya KBB.
Adapun penetapan AKB dengan disiplin protokol kesehatan bagi 15 kabupaten/kota di Zona Biru atau Level Dua berdasarkan hasil pengukuran sembilan indeks, diantaranya laju transmisi, ODP, PDP, dan penambahan kasus positif COVID-19.
Sementara kepada 40 persen atau 12 daerah lain di Jabar yang masuk Zona Kuning (Level Tiga), Kang Emil meminta mereka untuk mengikuti fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Saya sampaikan, AKB rumah ibadah tidak berlaku untuk seluruh daerah, hanya mereka yang secara ilmiah masuk daerah terkendali atau Zona Biru,” ujar Kang Emil.
"Karena fatwa dari MUI menyatakan kegiatan beribadah bisa dimulai di dalam masjid jika kondisi terkendali, yang belum terkendali secara ilmiah tidak boleh dulu,” katanya.
Kang Emil berujar, kegiatan rumah ibadah dapat mulai beradaptasi pada tahap pertama mulai 1 Juni mendatang guna memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat. Hal ini sejalan dengan visi Pemerintah Provinsi Jabar yakni Jabar Juara Lahir dan Batin.
“Dalam proses AKB ini yang dipulihkan adalah rumah ibadah dulu, karena kerinduan spiritualitas menjadi utama, Jabar Juara Lahir Batin. Maka di tanggal 1 (Juni 2020) yang didahulukan adalah rumah-rumah ibadah, ada masjid, gereja, kelenteng, dan lain-lain,” ujarnya.
Baca juga: PSBB Proporsional Jabar diperpanjang hingga 12 Juni 2020
Baca juga: Penerapan tatanan normal baru di Jabar mulai 1 Juni 2020
Selain itu, Kang Emil mengatakan, Pemerintah Provinsi Jabar merekomendasikan agar penerapan AKB di rumah ibadah dibatasi pada rumah ibadah di wilayah lingkungan perumahan atau kawasan kecil, sedangkan rumah ibadah besar yang umum tidak dibuka terlebih dahulu guna menghindari penyebaran virus dari pengunjung luar.
“Kita rekomendasi masjid besar jangan dulu. Kita Tahap I adalah masjid-masjid wilayah lingkungan, hanya untuk orang-orang yang tinggal di situ. Bukan untuk para musafir (orang yang bepergian) karena kita tidak tahu traveling history-nya (musafir),” tutur Kang Emil.
Pemerintah Provinsi Jabar pun merekomendasikan warga lanjut usia (lansia) dan anak-anak untuk tetap beribadah di rumah masing-masing karena mereka adalah kelompok yang sangat rawan tertular virus SARS-CoV-2.
Sementara itu, Ketua MUI Provinsi Jabar Rachmat Syafei menegaskan, keputusan Pemda Provinsi Jabar telah sejalan dengan fatwa MUI. Dalam fatwa MUI, disebutkan bahwa selama masa pandemi COVID-19 masyarakat diperbolehkan menjalankan salat secara berjamaah jika tinggal di wilayah terkendali dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
“Di dalam fatwa MUI itu ada (wilayah) terkendali dan (wilayah) tidak terkendali. Terkendali itu di wilayah-wilayah yang Zona Biru atau Hijau. Dalam fatwa MUI juga itu (di zona terkendali) boleh dan bisa dilaksanakan Salat Jumat berjamaah dengan mengacu protokol kesehatan,” kata Rachmat.
“Adapun wilayah yang masuk (Zona) Merah, fatwa MUI pun mengatakan haram untuk melaksanakan salat berjamaah dan wajib untuk sendiri melaksanakannya. Yang jelas, MUI tidak melarang (warga) ibadah, tapi bagaimana menjaga kesehatannya,” ujarnya.
Baca juga: Gubernur Jabar: Bukan relaksasi tapi adaptasi ke normal baru
Protokol Kesehatan
Dalam agenda di KBB jelang pemulihan rumah ibadah dalam AKB, Kang Emil turut melakukan simulasi ibadah di Masjid Al-Irsyad Kota Baru Parahyangan. Dirinya berujar, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai standar protokol kesehatan di tempat ibadah, khususnya masjid.
“Warga yang datang harus cuci tangan dulu. Prosedur kedua, antre menuju wudhu. Wudu juga antre, ada jarak. Tempat wudu juga kerannya tidak dibuka semua, diselang-seling sehingga wudu pun ada jarak,” tutur Kang Emil.
Selain itu, dilakukan pengecekan suhu sebelum para jemaah memasuki ruangan masjid.
Kang Emil meminta agar petugas masjid bertindak tegas jika diketahui ada warga dengan suhu tubuh di atas batas normal yakni 37,5 derajat celcius. Selain itu, tanda jarak aman antar baris atau saf salat juga tidak boleh dilanggar.
"Warga yang suhunya 37,5 derajat (Celcius) ke atas, tidak masuk kategori wajib salat berjemaah di masjid, karena punya risiko kesehatan,” kata Kang Emil.
“Masuk ke dalam, siap salat, para jemaah harap melihat ke bawah, kalau tandanya silang itu spot yang tidak boleh dipakai untuk salat, maka salat boleh berjarak,” tambahnya.
Terkait pelaksanaan Shalat Jumat berjemaah yang merujuk fatwa MUI, Kang Emil menjelaskan bahwa Salat Jumat tidak bisa dilaksanakan secara bergiliran dan masyarakat disarankan untuk membawa sajadah masing-masing.
Selesai shalat, masyarakat harus mengikuti arahan petugas masjid untuk membubarkan diri secara teratur dan tidak berkerumun.
“Fatwa sementara dari MUI, tidak ada aplusan (giliran) dalam Salat Jumat. Maka nanti diatur, kalau di dalam interiornya (ruang salat) sudah penuh, silahkan salat di halaman, di paving block sampai ke jalan, dan direkomendasi tadi bawa sajadah sendiri. Nanti pulangnya pun tunggu pengumuman. Jangan seperti biasanya (berkerumun),” ujar Kang Emil.
“Ini tidak nyaman, tapi inilah cara paling baik menyeimbangkan antara protokol kesehatan dengan syariat beribadah,” katanya.
Senada dengan Kang Emil, Ketua MUI Provinsi Jabar Rachmat Syafei mengatakan, pelaksanaan salat berjamaah dengan bergiliran atau shift hanya boleh dilakukan pada salat wajib lima waktu (fardhu) dan tidak berlaku untuk Salat Jumat.
“Khusus untuk Jumatan, tidak ada shift-shift-an. (Misalnya) biar panjang sampai alun-alun pun (biar) begitu saja. Tapi kalau berjamaah seperti biasa (salat fardhu), bisa shift-shift-an,” ujar Rachmat.
Sebelum meninjau Masjid Al-Irsyad, Kang Emil lebih dulu meninjau persiapan AKB di Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Padalarang. Kang Emil turut memastikan agar rumah ibadah umat Kristiani ini sudah menerapkan standar protokol kesehatan dengan menyediakan tempat cuci tangan pakai sabun, menyiagakan alat cek suhu dan hand sanitizer, serta menandai jarak aman di kursi ibadat.
Adaptasi Kebiasaan Baru atau AKB sendiri adalah istilah yang digunakan untuk memaknai new normal, yang merupakan kebiasaan baru warga Jabar di masa pandemi selama obat dan vaksin COVID-19 belum ditemukan.
Dalam hal ini, perilaku sehari-hari berubah secara sadar dan disiplin menjadi lebih higienis ketika diharuskan berdampingan dengan COVID-19. Kuncinya, terletak pada protokol kesehatan yang ketat dan tingkat kewaspadaan individu yang tinggi hingga dapat membantu menjalankan hidup aman, sehat, dan produktif.
Tiga protokol kesehatan yang wajib dan perlu menjadi kebiasaan warga Jabar adalah penggunaan masker, sering mencuci tangan, dan wajib menjaga jarak aman minimal 1,5 meter dengan orang lain saat beraktivitas di luar rumah.
Jangan lupa, selalu perhatikan dan lindungi anggota keluarga yang rentan, terutama mereka yang lanjut usia, yang mempunyai penyakit penyerta seperti diabetes, hipertensi, gangguan paru, gangguan ginjal, penyakit autoimun dan kehamilan.
Kepada warga Jabar, hindari euforia dan jangan lepas kendali dengan dimulainya AKB di Zona Biru. Situasi bisa berubah sewaktu-waktu jika penularan COVID-19 kembali meningkat. Keberhasilan AKB di Jabar ada di tangan warga yang disiplin dan taat aturan.
Baca juga: Ridwan Kamil minta KPU Jabar inovatif di tengah pandemi COVID-19
Baca juga: Ridwan Kamil: Jabar nol zona merah COVID-19
Baca juga: Sebanyak 15 daerah di Jabar bisa terapkan "new normal"
Pewarta: Ajat Sudrajat
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2020