"Kita tidak bisa menunggu sampai virus ini hilang atau vaksin ditemukan. Protokol kesehatan tetap paling efektif mencegah penularan yang dipraktikkan di seluruh dunia," kata Pratiwi saat jumpa pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang dipantau dari akun Youtube BNPB Indonesia di Jakarta, Selasa.
Pratiwi mengatakan vaksin pertama kali ditemukan pada abad ke-18, yaitu vaksin cacar. Meskipun sudah ditemukan sejak lama, permasalahan cacar baru selesai kira-kira 100 tahun kemudian.
Saat ini, telah tercipta kekebalan kawanan atau herd imunity terhadap virus penyebab cacar air. Itu pun, kekebalan kawanan terbentuk melalui vaksin yang diimunisasikan ke tubuh manusia.
Baca juga: Gugas COVID-19: "Herd imunity" tercipta dalam waktu lama
Baca juga: Sinopharm targetkan produksi 200 juta dosis vaksin COVID-19
"Saat ini mungkin ada 100-an pihak yang berupaya membuat vaksin. Ada sekitar 11 atau 12 yang sudah melakukan uji klinis, itu pun baru dari aspek keamanan dan mencari dosis," tuturnya.
Vaksin yang sedang diuji klinis tersebut akan dicoba disuntikkan ke hewan untuk melihat apakah di dalam tubuh hewan itu akan terbentuk antibodi.
"Kalau tidak terbentuk antibodi, pengembangan vaksin harus kembali ke awal lagi. Perlu waktu cukup lama, mungkin setahun atau dua tahun," jelasnya.
Pratiwi membandingkan dirinya yang selama ini berkutat pada vaksin demam berdarah. Menurutnya, dia sudah menghabiskan separuh hidupnya untuk meneliti vaksin untuk demam berdarah.
"Sampai saat ini juga masih sulit. Apalagi virus corona penyebab COVID-19 adalah virus jenis RNA yang bisa berubah secara cepat," katanya.*
Baca juga: Rusia berencana uji klinis vaksin COVID-19 dua minggu mendatang
Baca juga: Jusuf Kalla perkirakan normal baru berlangsung tiga tahun
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020