"Soal pemakzulan presiden sudah diatur secara jelas dalam Pasal 7 A UUD 45, dan saya melihat saat ini tidak ada alasan yang kuat untuk pemakzulan itu. Jadi diskusi pemakzulan presiden saat ini terlalu berlebihan atau boleh dikatakan mengada-ada," kata Johanes Tuba Helan kepada ANTARA di Kupang, Minggu, (7/6).
Johanes Tuba Helan yang juga mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB dan NTT mengemukakan pandangan itu, berkaitan dengan adanya diskusi yang membahas pemakzulan presiden di tengah perang melawan virus Corona jenis baru COVID-19.
Menurut dia, diskusi tersebut kemungkinan dimotori oleh barisan sakit hati atau juga mereka yang berambisi dan bernafsu untuk menjadi presiden.
"Mungkin ini dilakukan oleh barisan sakit hati atau mereka yang berambisi dan bernafsu menjadi presiden, sehingga tidak bisa menunggu sampai lima tahun lagi," katanya.
Dia menambahkan, pemakzulan presiden sudah diatur secara jelas dalam Pasal 7 A UUD 1945.
"Mekanisme pemberhentian presiden melalui DPR ke MPR lalu ke Mahkamah Konstitusi (MK) kembali ke MPR untuk diambil keputusan," katanya.
Mengenai kemungkinan berkaitan dengan kebijakan, dia mengatakan, setiap keputusan ataupun kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam situasi darurat atau genting berbeda dengan kondisi normal.
Karena itu, setiap keputusan dapat dimaklumi walaupun kemungkinan ada yang dirugikan atau diuntungkan.
"Keputusan dalam situasi darurat atau genting berbeda dengan situasi normal, jadi bisa dimaklumi. Pasti ada yang dirugikan dan ada yang diuntungkan, tetapi itu bukan alasan untuk pemakzulan," katanya.
Dalam sepekan terakhir, ada dua diskusi yang membahas pemakzulan presiden di tengah pandemi COVID-19.
Diskusi Webinar pertama diselenggarakan oleh Komunitas yang mengatasnamakan diri Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) yang mengangkat tema "Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan".
Namun demikian, diskusi Webinar yang akan diadakan CLS FH-UGM itu dibatalkan.
Diskusi Webinar kedua bertajuk "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Corona" yang digelar oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dan Kolegium Jurist Institute.
Baca juga: Basarah: Wacana pemakzulan saat pandemi hanya kuras energi
Baca juga: Ngabalin: Komentar Surya Paloh soal pemakzulan adalah hal biasa
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020