Membedah arah pemulihan ekonomi nasional

7 Juni 2020 16:32 WIB
Membedah arah pemulihan ekonomi nasional
Presiden saat memimpin Ratas evaluasi PSN untuk pemulihan ekonomi karena dampak Covid-19, Jumat (29/5/2020). ANTARA/HO-Humas Sekretariat RI/Agung/pri. (ANTARA/HO-Humas Sekretariat RI)

“Melalui stimulus, kita akan menjaga pertumbuhan ekonomi di atas nol persen, mendekati satu persen,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyakinkan stimulus fiskal menjadi lompatan bagi ekonomi Indonesia mampu bertahan dari dampak pandemi COVID-19.

Ia meyakini stimulus sebesar Rp677,20 triliun untuk penanganan wabah virus Corona jenis baru termasuk pemulihan ekonomi nasional (PEN) membawa ekonomi Indonesia tumbuh pada zona yang positif.

Pertumbuhan ekonomi ini bukanlah sekedar persentase angka belaka namun memiliki gambaran besar perekonomian suatu negara.

Pemerintah memiliki dua skenario pertumbuhan ekonomi dampak COVID-19 yakni sebesar 2,3 persen untuk skenario buruk dan negatif 0,4 persen untuk skenario sangat berat.

Tentunya, kini kerja keras harus ditempuh agar ekonomi Nusantara tidak sampai menyentuh level negatif.

Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia menyentuh negatif, ancaman terbesar adalah kemiskinan dan pengangguran yang jatuh lebih dalam.

Baca juga: Percepat ekonomi pulih, BUMN diminta tingkatkan sinergi dengan swasta

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada September 2019, Indonesia memiliki penduduk miskin mencapai 24,79 juta atau menurun 0,88 juta dibandingkan periode sama tahun 2018.

Sedangkan tingkat pengangguran, BPS mencatat pada Februari 2020 mencapai 6,88 juta orang atau bertambah 60 ribu orang dibandingkan periode sama tahun lalu.

Mencermati situasi yang serba tidak pasti ini, ada risiko bertambahnya penduduk miskin dan penggangguran karena wabah COVID-19.

Jika bertambah semakin banyak, maka tugas pemerintah dalam memulihkan keadaan juga akan semakin berat.

Pelebaran defisit

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan pemerintah harus membuat kebijakan baru untuk menahan laju kemiskinan dan pengangguran yakni dengan melebarkan defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020.

Dengan defisit yang diperlebar, maka pemerintah merevisi postur APBN tahun 2020 untuk yang kedua kalinya.

Sebelumnya dalam revisi pertama sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 tahun 2020, defisit APBN mencapai 5,07 persen sebesar Rp852,9 triliun menjadi 6,34 persen sebesar Rp1.039,2 triliun.

Dengan begitu, Perpres 54 tahun 2020 ini akan direvisi untuk mengubah struktur fiskal yang digunakan untuk penanganan COVID-19 dari sisi kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Total alokasi yang dianggarkan pemerintah mencapai Rp677,20 triliun sebagai stimulus fiskal.

Baca juga: Revisi Perpres, pemerintah naikkan defisit APBN 2020 jadi 6,34 persen

Dari jumlah tersebut, biaya untuk PEN mencapai Rp589,65 triliun yang dibagi dalam dua garis besar yakni untuk menopang biaya konsumsi masyarakat (demand) dan untuk sektor usaha atau produksi (supply).

Untuk sisi konsumsi masyarakat, pemerintah mengalokasikan Rp205,20 triliun dan sisi produksi atau sektor usaha mencapai Rp384,45 triliun.

Jika diurai lebih lanjut, biaya menopang konsumsi masyarakat itu digelontorkan dalam bentuk perlindungan sosial sebesar Rp203,9 triliun meliputi perluasan program keluarga harapan (PKH), sembako, bantuan sosial di Jabodetabek dan luar Jabodetabek.

Kemudian, kartu prakerja, diskon tarif listrik, logistik/pangan/sembako serta bantuan langsung tunai dana desa.

Tak hanya itu, juga dialokasikan insentif perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebesar Rp1,3 triliun.

Sedangkan, dari sisi sektor usaha, pemerintah mengalokasikan Rp384,45 triliun yang mendukung kapasitas produksi dari segala sisi terdiri dari subsidi bunga untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM) sebesar Rp35,28 triliun.

Kemudian, penempatan dana untuk restrukturisasi kredit UMKM sebesar Rp78,78 triliun dan padat karya UMKM Rp3,42 triliun.

Penjaminan untuk belanja imbal jasa penjaminan (IJP) Rp10 triliun dan cadangan penjaminan Rp2 triliun.

Tujuan penjaminan ini untuk menciptakan kredit modal kerja baru untuk UMKM dan kredit modal kerja bagi pengusaha padat karya yang mempekerjakan di atas 300 pekerja dan tidak berafilisasi dengan konglomerasi.

Selain itu, penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp15,5 triliun untuk BUMN yakni Hutama Karya, Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, Permodalan Nasional Madani, dan pariwisata yakni Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC).

Rincian lainnya yakni insentif perpajakan sebesar Rp123,01 triliun, talangan investasi modal kerja Rp19,65 triliun, dukungan untuk pemerintah daerah Rp14,7 triliun, pariwisata Rp3,8 triliun, program karya melibatkan kementerian/lembaga Rp18,44 triliun.

Selanjutnya, pembiayan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelolaan Dana Bergulir (LPDB) Rp1 triliun dan cadangan perluasan sebesar Rp58,8 triliun.

Pemerintah mengalokasikan cadangan yang bisa digunakan untuk membiayai kebutuhan program.

Anggaran kesehatan

Stimulus fiskal mencapai Rp677,20 triliun itu, sebesar Rp87,55 triliun dialokasikan untuk anggaran kesehatan.

Jumlah itu sudah dinaikkan pemerintah dari awalnya Rp75 triliun menjadi Rp87,55 triliun karena ada tambahan untuk Gugus Tugas total Rp3,5 triliun dan insentif perpajakan bidang kesehatan Rp9,05 triliun.

Apabila dicermati dengan alokasi PEN, maka alokasi kesehatan itu terlihat lebih kecil.

Namun, Febrio Kacaribu menjelaskan anggaran kesehatan itu disesuaikan dengan kebutuhan untuk pos kesehatan sehingga tidak bisa dibandingkan dengan biaya pos lain yang jumlahnya lebih besar.

Baca juga: Biaya penanganan COVID-19 capai Rp677,2 triliun, kata Menkeu

Saat ini alokasi anggaran kesehatan itu masih dinilai cukup dan pemerintah siap mengalokasikan jika masih kurang.

Kesehatan tetap menjadi prioritas utama pemerintah karena bagaimana pun juga jika kesehatan tidak tertangani maka dampak positif untuk ekonomi bisa jauh dari pandangan mata.

Apabila dirangkum dari alokasi-alokasi tersebut, dukungan untuk perlindungan sosial paling besar mencapai Rp203,90 triliun dan UMKM Rp123,46 triliun.

Kemudian, insentif usaha Rp120,62 triliun, pembiayaan korporasi Rp44,57 triliun dan sektoral kementerian/lembaga dan pemda Rp97,11 triliun.

Dengan demikian, arah dalam pemulihan ekonomi ini tidak terlepas dari upaya mengendalikan kemiskinan dan pengangguran.

Kemiskinan berkaitan erat dengan daya beli sehingga pemerintah menyiapkan perlindungan sosial sebagai bantalan bagi masyarakat, mengingat lebih dari 50 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia didorong konsumsi masyarakat.

Besarnya dukungan untuk UMKM menunjukkan upaya mengendalikan risiko pengangguran karena sektor ini banyak menyerap tenaga kerja informal khususnya untuk segmentasi usaha ultra mikro, mikro kecil dan usaha padat karya lain.

Kita semua berharap dengan segala daya dan upaya, pandemi virus Corona segera berakhir sembari memastikan realisasi pemulihan ekonomi nasional ini benar-benar berjalan sesuai sasaran.

Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020