Ketua Umum Asosiasi Koperasi Simpan Pinjam Indonesia (Askopindo) Sahala Panggabean dalam keterangannya, Senin, di Jakarta mengatakan segala bentuk praktik Koperasi Simpan Pinjam (KSP)
telah diatur oleh Permenkop No.15/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi dan No.11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh koperasi.
"Kita lihat pada pasal 1 ayat 14 Permenkop Nomor 15 dan Permenkop No 11 pada pasal 1 ayat 21 tentang simpanan berjangka, jelas diatur bahwa koperasi baik KSP maupun KSPPS dibolehkan miliki produk simpanan berjangka," kata Sahala yang juga Ketua KSP Nasari.
Lebih lanjut Sahala mengatakan bahwa pada kasus koperasi gagal bayar seperti Indosurya, Hanson, dan Cipaganti, yang terjadi adalah praktik “side streaming” atau penyimpangan alokasi.
Dana yang ada tidak dijadikan pembiayaan kredit bagi anggota koperasi, tapi seringkali digunakan untuk membiayai usaha yang terafiliasi dalam kelompok bisnis yang cenderung spekulatif.
"Praktik tidak terpuji ini biasanya siasat dari kelompok usaha besar yang sudah punya bisnis utama sebelumnya, justru mereka mendirikan koperasi untuk mendapatkan dana guna membiayai bisnis utamanya. Sejak awal harusnya dilacak kredibilitas dan rekam jejak pengaju izin,” ujar Sahala.
Sahala menekankan pentingnya peran pemerintah dalam keberpihakan dan mendorong agar koperasi berdaya saing kuat sesuai UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Bahkan dalam UU itu disebut bahwa untuk perlindungan kepada koperasi, dapat dikembangkan sektor ekonomi tertentu secara eksklusif sebagai bentuk keberpihakan konkrit bagi usaha koperasi guna mewujudkan pemerataan ekonomi dan keadilan sosial.
"Dalam Pasal 63 ayat 1 disebutkan bahwa untuk memberi perlindungan kepada koperasi, pemerintah bisa menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan koperasi. Malahan pemerintah dibolehkan untuk menetapkan bidang kegiatan ekonomi suatu wilayah yang telah berhasil diusahakan koperasi untuk tidak diusahakan oleh badan usaha lainnya," kata Sahala.
Sahala menyoroti langkah Satgas OJK yang umumkan ada 50 aplikasi KSP penawaran pinjaman online ilegal yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip koperasi baru-baru ini.
"Memanfaatkan aplikasi digital tidak dilarang, malah seharusnya didukung agar gerakan koperasi telah modern dan melek digitalisasi,” kata Sahala.
Pihaknya mendorong semua pihak untuk tidak mencederai semangat berkoperasi di kalangan masyarakat termasuk menuduh kasus gagal bayar koperasi beberapa koperasi disebabkan mempraktikkan “shadow banking”.
Koperasi disebut Sahala sempat dianggap sebagai pihak yang bersalah dalam menghimpun dana anggota dengan bunga tinggi melebihi bank serta tidak miliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Hal itu menurut dia cenderung kontraproduktif dan berpotensi meresahkan karena akan membentuk stigma bahwa semua koperasi melakukan praktik “shadow banking”.
“Masih banyak gerakan koperasi yang murni menjalankan usaha koperasi sesuai aturan dan setia dengan jati diri koperasi," kata Sahala.
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020