Anggota Komisi IX DPR RI Yahya Zaini meminta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan, untuk meninjau kembali aturan "diskon rokok" yang dianggap tidak sesuai dengan konsep cukai sebagai instrumen pengendalian.Penetapan cukai rokok merupakan instrumen untuk mengendalikan konsumsi rokok
"Penetapan cukai rokok merupakan instrumen untuk mengendalikan konsumsi rokok. Karena itu, pemerintah selalu menaikkan tarif cukai rokok dari tahun ke tahun. Tapi kalau di lapangan selalu ada pelanggaran-pelanggaran dan dibiarkan, maka tujuan tersebut tidak akan tercapai,” ujar Yahya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Aturan "diskon rokok" diatur melalui Peraturan Dirjen Bea Cukai Nomor 37/2017. Dalam aturan tersebut, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen diperbolehkan 85 persen dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum dalam pita cukai.
Produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari HJE asal dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 152 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK No 146 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, pemerintah sudah menetapkan harga jual rokok tidak boleh lebih rendah dari batasan HJE per batang atau gram yang berlaku. Sementara di lapangan masih ditemukan harga di bawah itu.
"Terjadinya penyimpangan lantaran pengawasan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Karena itu, saya meminta Dirjen Bea Cukai bertindak tegas tanpa pandang bulu. Saya setuju adanya tindakan tegas dan konsisten terhadap penyimpangan tersebut," ujar Yahya.
Yahya menambahkan, selain berdimensi ekonomi, rokok juga punya dampak sosial. Ia menyayangkan terjadinya fenomena rokok yang dijual di bawah harga banderol.
Menurutnya, hal itu bertentangan dengan program perlindungan anak. Salah satu penyebab anak dan remaja merokok adalah lantaran harga rokok yang murah. Rokok murah membuka peluang anak-anak terpapar bahaya rokok.
"Oleh karena itu aturan tersebut perlu untuk ditinjau kembali demi menyelamatkan generasi muda Indonesia sehingga menjadi generasi yang cerdas, sehat dan unggul," ujar Yahya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Yayasan Lentara Anak Lisda Sundari. Ia meminta agar kebijakan diskon rokok ditinjau ulang karena tergolong produk berbahaya dan perlu pengawasan peredarannya.
Lisda menyebutkan, ada dua penyebab tingginya perokok anak yang saling berkaitan erat, yaitu praktik iklan rokok yang sangat leluasa menyasar anak-anak sebagai target pemasaran produknya dan harga rokok yang relatif terjangkau dimana memudahkan anak-anak membeli rokok.
"Praktik diskon rokok akan memperburuk upaya-upaya pencegahan perokok anak, karena harga rokok akan semakin murah dan anak-anak semakin mudah menjangkaunya," ujar Lisda.
Oleh karena itu, Lentera Anak mendesak pemerintah dalam hal ini Direktrorat Jenderal Bea Cukai untuk meninjau kembali aturan yang memungkinkan rokok dijual lebih murah, sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan anak dan masa depan bangsa.
Baca juga: Kadin Jatim prediksi target penerimaan cukai rokok akan terganggu
Baca juga: Bea Cukai Jambi amankan 4 juta barang rokok tanpa cukai
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020