• Beranda
  • Berita
  • PHRI nilai kewajiban beri bonus di Omnibus Law bebani perusahaan

PHRI nilai kewajiban beri bonus di Omnibus Law bebani perusahaan

10 Juni 2020 20:40 WIB
PHRI nilai kewajiban beri bonus di Omnibus Law bebani perusahaan
Ilustrasi. Salah satu fasilitas Hotel dan Restoran di Kota Palu, Sulawesi Tengah, yang tetap beroperasi ditengah pandemi COVID-19, meski sepi pengunjung dan tamu.(ANTARA/Sulapto Sali).

Kalau begini daya saing jadi berkurang, dan perusahaan banyak yang tutup. Jadi pemutusan hubungan kerja bisa jadi lebih besar

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai salah satu klausul dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang mewajibkan perusahaan memberikan bonus hingga lima kali upah bagi karyawan yang telah bekerja minimal 12 tahun, dapat membebani perusahaan.

Wakil Ketua Umum PHRI Maulana Yusran Maulana Yusran mengatakan, kewajiban bonus tersebut akan menjadikan beban operasional perusahaan semakin besar. Padahal, situasi bisnis di tengah pandemi saat ini dan ke depan masih akan sulit.

"Bonus pekerja yang dinilai sebagai pemanis ini arahnya ke mana? Dalam kondisi sekarang bisnis susah bersaing dan tumbuh di Indonesia karena adanya aturan upah minimum dan sebagainya,” ujar Maulana dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.

Dalam Omnibus Law Cipta Kerja, ketentuan mengenai bonus terdapat dalam klaster ketenagakerjaan. DPR dan Pemerintah memang sepakat menunda pembahasan klaster tersebut. Oleh karenanya, PHRI menyarankan pemerintah dan DPR melakukan berbagai penyesuaian.

Di industri perhotelan misalnya, komponen upah pekerja bisa mencapai 25 persen dari total beban perusahaan. Oleh karenanya, kewajiban bonus hingga lima kali upah akan sangat membebani perusahaan, khususnya di sektor pariwisata. Demikian pula dengan sektor-sektor lain yang bersifat padat karya dengan beban operasional pekerja yang tinggi.

Dia menjelaskan, pada industri pariwisata upah atau gaji bukan tolok ukur utama dalam penghargaan terhadap pekerja. Sebab, mereka memiliki parameter lain seperti insentif pelayanan atau "service".

"Hotel yang masih beroperasi itu upahnya hanya upah gaji saja, sementara service-nya bisa dua kali lipat dari gajinya. Di situ kelihatan kalau sektor ini tidak mengutamakan gaji, karena uang service itu tolak ukurnya dari pelayanan. Artinya okupansi tinggi uang service-nya juga tinggi," kata Maulana.

Pada beberapa pelaku usaha, lanjutnya, bonus berbasis kinerja itu juga dilakukan guna menjaga performa pelayanan.

PHRI pun meminta pemerintah dan DPR tidak hanya mengambil kebijakan populis, namun lebih mengarahkannya kepada penciptaan daya saing dan investasi. Peningkatan upah atau kompensasi yang tinggi dan berlebihan dinilai akan sia-sia karena dapat berpengaruh langsung pada investasi. Sebab, penciptaan lapangan kerja tetap tidak akan terjadi.

Menurut Maulana, jika pemberi kerja masih dibebani dengan kewajiban bonus pekerja, potensi perusahaan merekrut tenaga kerja baru akan berkurang. Biaya ketenagakerjaan pun menjadi tidak kompetitif. Akibatnya, hal tersebut akan mengurangi minat pemodal untuk berinvestasi di Indonesia.

"Kalau begini daya saing jadi berkurang, dan perusahaan banyak yang tutup. Jadi pemutusan hubungan kerja bisa jadi lebih besar," ujar Maulana.

Padahal, saat ini angka pengangguran di Indonesia cukup besar. Data Badan Pusat Statistik mencatat tingkat pengangguran terbuka per Februari 2020 mencapai 6,88 juta orang atau 4,99 persen dari total angkatan kerja (usia 15-64 tahun) sebesar 137,91 juta orang.

Angka ini dipastikan akan bertambah seiring merebaknya wabah COVID-19. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bahkan memprediksi akan ada tambahan 4,22 juta orang pengangguran setelah dirumahkan atau terkena PHK karena tempatnya bekerja terimbas wabah COVID-19.

PHRI berharap pemerintah bisa mencari titik tengah dalam kebijakan ini dengan mengutamakan solusi untuk pertumbuhan bisnis, penyerapan tenaga kerja yang maksimal, dan jaminan kesehatan dan sosial bagi pekerja, terutama bagi industri padat karya.

Pelaku usaha yang bertahan menjaga angka pegawainya membutuhkan dukungan dari pemerintah menjalani masa sulit ini, bukannya memberikan beban tambahan.

Presiden Joko Widodo sebelumnya menyampaikan bahwa penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan dilakukan untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal. Hal itu kemudian direspons positif sejumlah pihak apalagi saat ini Indonesia masih menghadapi krisis akibat penyebaran COVID-19.

Baca juga: PHRI bantu pengusaha hotel perjuangkan keringanan abonemen listrik
Baca juga: PHRI: mayoritas pengusaha hotel tak sanggup bayar THR

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020