• Beranda
  • Berita
  • Penyempurnaan data terpadu terus dilakukan agar PBI tepat sasaran

Penyempurnaan data terpadu terus dilakukan agar PBI tepat sasaran

11 Juni 2020 20:00 WIB
Penyempurnaan data terpadu terus dilakukan agar PBI tepat sasaran
Salah satu peserta JKN-KIS memperlihatkan Kartu Indonesia Sehat yang dimilikinya. (ANTARA/Aris Wasita)
Penyempurnaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) harus terus dilakukan agar masyarakat dengan kepesertaan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK) dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat bisa tepat sasaran.

Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis, Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf menjelaskan bahwa penetapan peserta PBI JK mengacu pada DTKS yang berada di dinas sosial tiap daerah dan Kementerian Sosial sehingga perlu dukungan semua pihak terkait agar penyempurnaan DTKS dapat terus dilakukan.

“DTKS terbit setidaknya setiap enam bulan sekali. DTKS termutakhir diterbitkan pada Januari 2020, jumlahnya 97,3 juta jiwa. Perlu dilakukan sosialisasi terus-menerus agar masyarakat dapat mengetahui apakah dia dan anggota keluarganya terdaftar dalam DTKS tersebut atau tidak, dan hal ini akan berpengaruh pada kepesertaannya sebagai PBI JK," kata Iqbal.

Dia menerangkan beberapa peserta JKN-KIS segmen PBI JK mengalami penonaktifan kepesertaan.

Penyebab penonaktifan kepesertaan PBI JK itu dikarenakan tidak terdaftar dalam DTKS, khususnya pada data yang termutakhir.

Menurut Iqbal, masyarakat perlu didorong untuk dapat secara proaktif melaporkan ke dinas sosial setempat apabila terjadi ketidaksinkronan data.

"Misalnya, karena ada perubahan dalam susunan anggota keluarga (lahir, meninggal, kawin, cerai) sebagaimana tercantum Kartu Keluarga (KK) sehingga sebagian anggota keluarga belum terdaftar dalam DTKS, maka diharapkan penduduk tersebut dapat melaporkan data diri dan anggota keluarganya ke dinas sosial setempat untuk pemutakhiran DTKS,” kata Iqbal.

Iqbal melanjutkan BPJS Kesehatan berkomitmen penuh mendukung upaya penyempurnaan DTKS tersebut dengan menginstruksikan kepada BPJS Kesehatan kantor cabang berkoordinasi dengan Dinas Sosial setempat, melalui penyampaian data DTKS yang memiliki sebagian anggota keluarga belum terdaftar dalam DTKS.

“Harapannya, data tersebut bisa menjadi data input untuk peningkatan kualitas dan kuantitas DTKS. Jika berhasil, harapan kita jumlah DTKS di bulan Juli 2020 jumlahnya dapat meningkat sekitar 6,7 juta jiwa atau menjadi sekitar 104 juta jiwa," katanya.

Oleh karenanya, lanjut dia, semua pihak perlu proaktif dan memberikan dukungan kepada Dinas Sosial agar setidaknya pada triwulan keempat tahun 2020 jumah penduduk terdaftar dalam DTKS bisa menyentuh angka kuota sesuai amanah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Di sisi lain, Iqbal mengatakan bahwa sesuai amanah Peraturan Presiden RI Nomor 82 Tahun 2018 pasal 99, Pemerintah Daerah wajib mendukung penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan antara lain melalui peningkatan pencapaian kepesertaan di wilayahnya, kepatuhan membayar iuran, peningkatan pelayanan kesehatan dan dukungan lainnya sesuai ketentuan perundang-undangan dalam rangka menjamin kesinambungan Program Jaminan Kesehatan.

Dalam pasal 102 juga disebutkan Pemerintah Daerah yang menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Daerah wajib mengintegrasikannya ke dalam Program Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan.

Pemerintah Daerah juga diharapkan mengikuti Permendagri Nomor 33 Tahun 2019 Tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2020 yang dengan sangat jelas ditekankan bahwa dalam rangka mewujudkan Universal Health Coverage (UHC), Pemerintah Daerah melakukan integrasi Jaminan Kesehatan Daerah dengan Jaminan Kesehatan Nasional guna terselenggaranya jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk.

Sesuai dengan aturan yang berlaku, apabila terdapat masyarakat yang belum terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai PBI JK, maka dapat dilaporkan kepada Dinas Sosial untuk didaftarkan dalam DTKS PBI JK yang aktif di bulan berikutnya.

Iqbal menerangkan bahwa BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara jaminan kesehatan sosial tidak dapat mendaftarkan kepesertaan penduduk secara mandiri.

“Sebagai badan hukum publik yang tunduk pada regulasi yang ditetapkan pemerintah, BPJS Kesehatan tidak memiliki wewenang untuk mendaftarkan masyarakat ke dalam DTKS," katanya.

Oleh karena itu, Iqbal mengharapkan Pemerintah Daerah dapat berperan aktif mendata dan mendaftarkan penduduknya yang belum masuk ke dalam DTKS, untuk selanjutnya dilaporkan kepada Kementerian Sosial.

Masyarakat proaktif

Iqbal menjelaskan bahwa penjaminan layanan kesehatan bagi peserta PBI JK oleh BPJS Kesehatan mengacu pada DTKS sehingga diperlukan upaya pihak yang bersangkutan dengan mekanisme penyusunan DTKS untuk dapat melakukan upaya penyempurnaan data.

“Masyarakat juga diharapkan dapat proaktif mengecek apakah dirinya dan keluarganya berstatus peserta PBI atau bukan, dengan cara menghubungi Dinas Sosial Kabupaten/Kota setempat, BPJS Kesehatan Care Center 1500400, Kantor Cabang BPJS Kesehatan setempat, atau melalui akun media sosial resmi BPJS Kesehatan dengan menginfokan kartu identitas diri seperti KTP atau Kartu Keluarga (KK),” kata Iqbal.

Iqbal melanjutkan, jika peserta PBI Jaminan berstatus peserta yang sudah dinonaktifkan paling lama enam bulan lalu dan saat ini membutuhkan layanan kesehatan, maka yang bersangkutan dapat mengajukan diri ke Dinas Sosial setempat untuk mendapatkan surat keterangan dan selanjutnya dilakukan pengaktifan kembali (re-aktifasi) sebagai peserta PBI JK oleh BPJS Kesehatan.

Apabila berdasarkan hasil verifikasi dan validasi Dinas Sosial setempat yang bersangkutan masih memenuhi kriteria Fakir Miskin atau Orang tidak Mampu, maka Dinas Sosial setempat bisa mengusulkannya ke Kementerian Sosial untuk terdaftar dalam DTKS periode berikutnya.

Sedangkan jika peserta yang dinonaktifkan tersebut sebetulnya mampu membayar sendiri iuran JKN-KIS untuk diri sendiri dan keluarganya, maka disarankan untuk segera mengalihkan jenis kepesertaannya ke segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri dengan pilihan hak kelas rawat yang disesuaikan kemampuan peserta membayar iuran.

“Peserta yang beralih ke segmen mandiri atau PBPU, kartunya bisa langsung aktif tanpa menunggu masa verifikasi pendaftaran 14 hari. Dengan catatan, pengalihan ke segmen PBPU tersebut harus dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sejak kepesertaannya sebagai PBI JK dinonaktifkan,” kata Iqbal.

Sementara itu, Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan dukungannya terhadap langkah penyempurnaan DTKS tersebut. Menurutnya, pemerintah diharapkan dapat mengkomunikasikan pembaruan DTKS kepada masyarakat yang bersangkutan sebagai bentuk konfirmasi apakah dirinya masih layak mendapat bantuan atau tidak.

Selain itu, Timboel juga menyarankan sebaiknya pemerintah memanfaatkan sistem teknologi informasi dalam memperbaiki dan menyempurnakan DTKS agar tidak simpang siur dan berdampak pada peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan.

“Proses cleansing pendataan ini bisa memanfaatkan teknologi yang ada agar sampai ke end user atau peserta, baik yang aktif maupun yang dinonaktifkan. Paling tidak, hal ini bisa membuat mereka tidak bingung," ujarnya.

Sebenarnya, lanjut dia, hal ini bisa dilakukan, ketika mereka mendaftarkan atau mengeluarkan peserta, harus dikomunikasikan kepada yang bersangkutan sebelum mereka nantinya mengirimkan ke Kementerian Sosial.

"Lalu Kementerian Sosial mengirimkan datanya ke BPJS Kesehatan. Harus ada dialog antara peserta yang datanya diperbarui dengan Dinas Sosial. Untuk itu, saya mendukung sekali proses pendataan ulang ini dan semoga pemerintah bisa mencapai kuota PBI sesuai RPJM,” tuturnya.

Baca juga: Nikmati jaminan kesehatan meski kelas III
Baca juga: BPJS Kesehatan jadi inisiator studi lintas negara anggota ISSA
Baca juga: Rutin bayar iuran, pedagang sayur Muara Teweh rasakan manfaat JKN-KIS

 

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2020