Pemerintah perlu menyusun strategi komprehensif terkait defisit anggaran agar dapat tercapai target defisit di bawah tiga persen pada tahun 2023 dengan memperhatikan berbagai aspek fiskal dengan cermat dan hati-hati.Pemerintah perlu mempersiapkan amunisi yang meyakinkan, yaitu kebijakan fiskal yang berkesinambungan yang dapat menjaga stabilitas makroekonomi
"Pemerintah perlu menyusun kembali strategi komprehensif menuju defisit di bawah tiga persen pada tahun 2023. Upaya ini harus dilakukan dengan perhitungan yang cermat, penuh kehati-hatian, disiplin tinggi, dan kredibel sehingga menjamin kesinambungan fikal dalam jangka menengah maupun jangka panjang," kata Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo dalam rilis di Jakarta, Senin.
Menurut dia, pelebaran defisit yang berimbas pada penambahan utang dan bunga utang akan mengancam kesinambungan fiskal sehingga hal ini perlu dicermati dan diantisipasi.
Politisi PDI Perjuangan itu juga mengingatkan bahwa kebijakan fiskal yang tidak berkesinambungan berimplikasi langsung pada peningkatan country risk yang berpotensi menurunkan peringkat investasi yang selama ini sudah berangsur membaik.
Hal tersebut, lanjutnya, dapat menghambat investasi yang akan masuk ke Indonesia, sehingga berpotensi mengancam target-target pembangunan jangka panjang.
"Oleh karena itu, pemerintah perlu mempersiapkan amunisi yang meyakinkan, yaitu kebijakan fiskal yang berkesinambungan yang dapat menjaga stabilitas makroekonomi. Salah satu aspek penting adalah kinerja penerimaan negara yang mumpuni, khususnya pajak," ucapnya.
Ia memaparkan, sejumlah langkah konkret untuk optimalisasi penerimaan pajak harus segera diambil, antara lain implementasi penggunaan NIK dalam setiap transaksi untuk ekstensifikasi basis pajak dan efektivitas pemungutan PPN, penerapan metode lebih sederhana agar pemungutan PPN lebih efektif, pemanfaatan data dan informasi perpajakan lebih optimal dan transparan, serta penegakan hukum yang berkeadilan.
Sebagaimana diwartakan, Pemerintah kembali merevisi postur APBN 2020 dalam Perpres Nomor 54 tahun 2020 untuk kedua kalinya karena merespon ketidakpastian dari dampak COVID-19 agar laju kemiskinan dan pengangguran bisa ditahan sehingga tidak merosot terlalu dalam.
“Jangan sampai pertumbuhan (ekonomi) negatif karena kalau pertumbuhan negatif dalam skenario sangat berat, dampak ke kemiskinan, pengangguran itu sangat tinggi,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu dalam konferensi pers daring di Jakarta, Kamis (4/6).
Apabila pengangguran dan kemiskinan merosot terlalu dalam, lanjut dia, maka upaya pemulihan pada tahun berikutnya juga akan semakin berat.
Untuk itu, lanjut dia, dalam revisi terbaru ini pemerintah akan fokus dalam perlindungan sosial karena masyarakat Indonesia sebagian besar masih berpendapatan rendah dan lebih dari 50 persen produk domestik bruto (PDB) didorong konsumsi.
Adapun dalam outlook revisi terbaru, pemerintah melebarkan defisit menjadi 6,34 persen mencapai Rp1.039,2 triliun dari Perpres 54 tahun 2020 sebesar 5,07 persen mencapai Rp852,9 triliun.
Dengan revisi baru ini, pendapatan negara diproyeksi turun Rp61,7 triliun menjadi Rp1.699,1 triliun.Sedangkan belanja negara menjadi bertambah sebesar Rp124,5 triliun dari Rp2.613,8 menjadi Rp2.738,4 triliun.
Adapun komponen penambahan belanja negara itu di antaranya belanja pemerintah pusat naik Rp123,3 triliun menjadi Rp1.974,4 triliun dan belanja non-kementerian/lembaga bertambah Rp173,3 triliun menjadi Rp1.187,9 triliun.
Untuk belanja nonkementerian ini di antaranya penanganan dampak COVID-19 sebesar Rp73,4 triliun menjadi Rp328,5 triliun, kompensasi tariff listrik dan harga BBM bertambah sebesar Rp76,1 triliun menjadi Rp91,1 triliun.
Baca juga: Revisi Perpres, pemerintah naikkan defisit APBN 2020 jadi 6,34 persen
Baca juga: Kemenkeu perkirakan harga minyak turun sebabkan defisit Rp12,2 triliun
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020