Wamendag Jerry Sambuaga menjelaskan bahwa pemerintah optimistis terhadap prospek ekspor kelapa sawit ke depan, mengingat komoditas tersebut masih menjadi pilihan yang paling ekonomis sebagai sumber minyak nabati dunia dibandingkan minyak lain, seperti minyak bunga matahari, rapeseed, dan soybean.
"Secara umum ekspor kita dilihat dari kacamata global masih surplus, apalagi produk kelapa sawit ini satu dari sekian banyak komoditas yang masih surplus. Jadi secara umum, kondisi ini masih kondusif," kata Jerry dalam diskusi daring menyoal pasar sawit di Jakarta, Senin.
Jerry memaparkan bahwa merebaknya virus corona di akhir tahun 2019, telah berdampak pada perdagangan Nasional, termasuk ekspor minyak sawit dan turunannya.
Baca juga: Kementan siapkan strategi perkuat ekspor perkebunan di tengah COVID-19
Menurut dia, sejak awal 2020, ekspor CPO dan produk turunannya memang mengalami penurunan. Kinerja ekspor di beberapa pasar utama pun bervariasi.
Sepanjang Januari-April 2020, ekspor CPO dan produk turunannya ke India mengalami pertumbuhan sebesar 11,2 persen menjadi 1,64 juta ton dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Jika dilihat dari segi nilainya, kinerja ekspor sawit juga meningkat 55,3 persen menjadi 1,09 miliar dolar AS.
Sementara itu, volume ekspor ke China anjlok sebesar 54,3 persen dari 1,93 juta ton pada 2019 menjadi hanya 879.000 ton pada 2020. Dari segi nilai, ekspor juga turun 48,5 persen dari 966,1 juta dolar AS menjadi 497, 4 juta dolar AS.
Kinerja ekspor produk utama sawit, yaitu RBD Palm Oil mengalami penurunan yang cukup dalam sebesar 28,8 persen dari 4 juta ton pada Januari-April 2019, menjadi 2,85 juta ton pada Januari-April 2020.
Baca juga: Sempat tumbuh, Gapki catat ekspor sawit April turun 77.000 ton
Sementara untuk CPO, justru kinerja ekspornya mengalami peningkatan yang cukup baik dari segi volume dan nilai. Volume ekspor CPO meningkat 13,3 persen menjadi 2,48 juta ton pada 2020, sedangkan nilainya meningkat 57,7 persen menjadi 1,64 miliar dolar AS.
Menurut Wamendag, Indonesia juga menghadapi hambatan ekspor lainnya, yakni di pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa. Di pasar AS, ekspor biodiesel Indonesia dikenakan anti-dumping dan anti-subsidi dengan total marjin 126,97 persen sampai 341,38 persen.
Sementara di pasar Uni Eropa, ekspor biodiesel Indonesia juga dikenakan antisubsidi oleh otoritas UE dengan pungutan bea masuk 8-18 persen.
"Kendati kondisi perdagangan nasional sangat terdampak dari situasi pandemi COVID-19, kita harus tetap optimis terhadap prospek sawit ke depan karena minyak sawit masih menjadi pilihan utama sebagai substitusi dari minyak nabati lain," kata Jerry.
Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020