"Itu tidak terjadi pada 2020, bukan juga pada 2021," kata Soetjipto dalam FGD secara daring di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan, setelah mengolah data, kemungkinan titik keseimbangan baru harga minyak tersebut akan terjadi pada 2024 atau 2025.
Ia menjelaskan ada tiga asumsi dasar atas perkiraan titik kesimbangan baru harga minyak tersebut, yang kini terus berfluktuasi akibatwabah Covid-19 yang berdampak pada penurunan permintaan minyak dunia.
Baca juga: Harga minyak melonjak dipicu hasil positif vaksin COVID-19
Pertama, perhitungan berdasarkan biaya produksi, yang bila harga minyak di bawah 30 dolar Amerika Serikat per barel maka akan banyak perusahaan minyak yang kolaps, kecuali yang memiliki cadangan besar.
Kedua, pembicaraan di Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang mulai memangkas produksi mereka.
Ketiga, analisa-analisa perkiraan harga minyak mentah Brent oleh lembaga riset energi Woodmac, Rystad and Platts.
Baca juga: BI yakin rupiah kuat dan stabil, meski dibayangi jatuhnya harga minyak
Ia mengakui dampak Covid-19 yang menyebabkan harga minyak dunia bergejolak telah menurunkan aktivitas operasional kegiatan usaha hulu minyak dan gas (migas).
Bahkan dia akui ada sejumlah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) minyak dan gas (migas) yang melakukan penundaan rencana bisnis mereka. Namun, pihaknya terus melakukan komunikasi agar produksi dan lifting minyak tetap terjaga.
"Angkanya yang realistis tahun ini 705 ribu barel per hari, dari target APBN 755 ribu barel per hari," katanya.
Selain itu, dampak Covid-19 dan gejolak harga minyak dunia juga menyebabkan penurunan pemanfaatan migas, penurunan keekonomian lapangan migas, penurunan outlook lifting 2020, dan mundurnya onstream Proyek Marakes dari Kuartal III 2020 menjadi kembali ke rencana awal POD Kuartal I 2020.
Pewarta: Risbiani Fardaniah
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020