Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Mahendra Siregar, pada sesi kuliah umum virtual, Rabu, mengatakan pandemi COVID-19 menciptakan perubahan drastis atau disrupsi pada dinamika geopolitik dunia.Beberapa tren yang terjadi saat COVID-19 sebenarnya akselerasi dari tren yang terjadi sebelumnya, antara lain perang dagang antara China dan Amerika Serikat. Ada juga tren anti globalisasi
Mahendra menjelaskan pengaruh COVID-19 salah satunya terlihat dari makin tajamnya persaingan antara dua raksasa dunia, yaitu Amerika Serikat dan China.
"Beberapa tren yang terjadi saat COVID-19 sebenarnya akselerasi dari tren yang terjadi sebelumnya, antara lain perang dagang antara China dan Amerika Serikat. Ada juga tren anti globalisasi," terang Mahendra menjelaskan pengaruh COVID-19 pada perkembangan peta politik dunia.
Ia menjelaskan pandemi kerap digunakan sebagai alat politik untuk menjatuhkan satu negara tertentu. "COVID-19 ini membuat dua negara (AS dan China) saling menyalahkan dan implikasinya bisa melebar," tambah dia.
Baca juga: Harga minyak turun di tengah meredanya ketegangan geopolitik global
Baca juga: Krisis pengungsi dapat jadi "a new normal" geopolitik dunia
Namun, Indonesia tetap mempertahankan arah politik luar negeri bebas aktif, yang artinya tidak berpihak pada satu kubu tertentu, kata Mahendra menegaskan.
"Kita pada masa lalu bukan bagian dari (Uni) Soviet atau Amerika Serikat, sekarang kita tidak punya kepentingan jadi bagian dari AS atau China, karena kita punya prinsip sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam hal ini, kepentingan kita, tentunya (memelihara) perdamaian dunia, khususnya di kawasan," terang dia.
Mahendra menjelaskan perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara, khususnya di Laut China Selatan, serta wilayah Indo-Pasifik, yaitu perairan yang membentang dari Samudera Hindia sampai Samudera Pasifik, senantiasa jadi prioritas politik luar negeri Pemerintah Indonesia.
"Indonesia berperan sangat aktif dengan melahirkan protokol-protokol penting untuk seluruh negara di kawasan atau negara yang berkepentingan di kawasan agar memakainya sebagai cara bersama, tidak pakai cara sendiri. Ini yang kita lakukan secara konsisten," terang Mahendra.
Dalam kesempatan yang sama, ia juga menyebut pandemi turut menguatkan gerakan anti globalisasi yang dulunya banyak ditemukan di negara berkembang, tetapi saat ini justru tumbuh di negara maju.
"Di waktu lalu, anti globalisasi ini muncul di negara berkembang karena banyak masyarakatnya kurang mampu, sehingga tertinggal. Namun yang menarik belakangan ini, anti globalisasi justru muncul di negara paling maju atau yang paling tinggi dilihat dari GDP (produk domesti bruto), yaitu Amerika Serikat, secara teoritis, masyarakat AS semestinya paling diuntungkan karena globalisasi, tetapi justru anti," ujar dia.
Menurut Mahendra, tumbuhnya sikap anti globalisasi di AS kemungkinan didorong oleh tingkat ketimpangan tinggi.
Rasio gini di AS jauh lebih tinggi daripada Indonesia, tambah dia.
Rasio gini atau koefisien gini merupakan indikator yang mengukur tingkat ketimpangan ekonomi suatu negara. Angka rasio gini yang mendekati nol menunjukkan kekayaan suatu negara terdistribusi secara merata. Sebaliknya, perekonomian suatu negara disebut timpang jika rasio gini mendekati angka satu.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan rasio gini Indonesia per September 2019 berada di angka 0,380. Sementara itu, Biro Sensus AS mengumumkan tahun lalu rasio gini Amerika Serikat pada 2018 mencapai 0,485, angka tertinggi dalam 50 tahun terakhir.
"Sedikit banyak, politik mempengaruhi hal ini, sehingga (ada pihak) menyalahkan globalisasi. Sikap anti globalisasi ini yang menyebabkan beberapa negara cenderung melakukan sikap unilateral (sepihak)," terang Mahendra.
Baca juga: IHSG berpotensi melemah dipicu meningkatnya tensi geopolitik AS-China
Baca juga: Ketegangan geopolitik mereda, harga emas di New York terus menurun
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020