Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai tarif cukai untuk produk tembakau alternatif yang termasuk dalam kategori hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) seharusnya bisa lebih rendah jika terbukti lebih kecil risikonya dibandingkan rokok konvensional.Jikalau terbukti mampu mengurangi risiko, perlu diberikan sebuah "reward" berupa tarif yang lebih murah. Mengapa? Agar tercipta sebuah mekanisme yang mendorong pabrikan untuk berinovasi menciptakan produk rendah risiko lainnya.
"Pastinya. Jikalau terbukti mampu mengurangi risiko, perlu diberikan sebuah "reward" berupa tarif yang lebih murah. Mengapa? Agar tercipta sebuah mekanisme yang mendorong pabrikan untuk berinovasi menciptakan produk rendah risiko lainnya. Kita tahu sendiri, keluar dari merokok bukan hal yang mudah," ujar Fajry di Jakarta, Kamis.
Baca juga: BKF tegaskan tidak ada diskon rokok dalam aturan pemerintah
Di Indonesia, cukai untuk produk tembakau alternatif yang termasuk dalam kategori HPTL saat ini dikenakan tarif tertinggi yaitu 57 persen sesuai dengan UU Cukai No. 39 tahun 2007. Beban cukai HPTL ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan mayoritas produk rokok.
"Dengan perkembangan teknologi yang ada, pastinya ada produk hasil tembakau yang rendah risiko, bisa lihat di beberapa kajian ilmiah yang ada. Yang penting ada pembuktian melalui jurnal ilmiahnya yang sudah peer reviewed (sebagai pembuktian)," ujar Fajry.
Profesor dari Pusat Kebijakan Kesehatan di Ottawa University David Sweanor dalam gelaran Global Forum on Nicotine 2020 (GFN 2020) beberapa waktu lalu mengatakan pengenaan pajak atau cukai harusnya disesuaikan dengan profil risiko.
Baca juga: Pabrik rokok dapat penundaan bayar cukai Rp18,1 triliun imbas COVID-19
Jika suatu produk memiliki risiko rendah, pajak atau cukai yang dikenakan harus lebih rendah dari produk yang memiliki risiko tinggi. Misalnya, e-cigarettes dan produk tembakau yang dipanaskan yang diklaim memiliki risiko lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional.
Dengan tarif pajak atau cukai yang lebih rendah tersebut diharapkan dapat membuat harga produk menjadi lebih terjangkau.
"Dengan semakin tinggi perbedaan harga, semakin tinggi kemungkinan konsumen akan mengubah kebiasaan konsumsi mereka dan itu mendorong ke produk yang lebih rendah risiko," kata Sweanor.
Baca juga: Realisasi penerimaan cukai baru Rp68,3 triliun hingga Mei 2020
Pakar kesehatan masyarakat asal Inggris Gerry Stimson, yang menjadi salah satu pembicara di GFN, mengatakan ada 1,1 miliar perokok di dunia yang layak mendapatkan kesempatan dan pilihan yang lebih baik daripada mereka terus merokok. Para perokok tersebut perlu didorong untuk beralih dari rokok ke produk tembakau yang lebih rendah risiko.
"Banyak perokok dari berbagai negara di dunia yang berhasil beralih dari rokok ke produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko, walaupun jumlahnya masih relatif kecil dibandingkan jumlah perokok di dunia. Saya pikir ini saat yang tepat untuk menjadikan produk tembakau alternatif sebagai pilihan yang lebih rendah risiko," ujar Stimson.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020