Padahal, kata Wakil Ketua DPRD Provinsi Kepri Tengku Afrizal Dahlan di Tanjungpinang, Kamis, putusan sidang nonlitigasi Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2018 menyatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan UU No. 28/2009, Pemprov Kepri diberi kewenangan untuk mengelola ruang laut 0—12 mil dari garis pantai.
Dengan alasan ini pula, Pemprov Kepri sejak 2017—2019, memasukkan pendapatan dari sektor labuh jangkar sekitar Rp60 miliar ke dalam APBD. Namun, lanjut Tengku Afrizal Dahlan, sampai saat ini belum ada realisasinya.
Baca juga: Kepri kehilangan PAD sekitar Rp1 miliar per hari
Oleh karena itu, politikus NasDem ini memandang perlu upaya dan keseriusan bersama agar persoalan kewenangan di laut ini dapat segera selesai demi mengoptimalkan sumber-sumber potensi PAD Provinsi Kepri.
Sebagai provinsi kepulauan dengan luas wilayah laut mencapai 96 persen, menurut dia, seharusnya potensi kelautan menjadi sektor andalan pendapatan asli daerah.
"Akan tetapi, sayangnya masih jauh dari harapan," katanya.
Sementara itu, Plt. Gubernur Provinsi Kepri Isdianto menyatakan bahwa pihaknya tidak berhenti memperjuangkan pendapatan dari labuh jangkar ķapal yang selama ini diambil Kementerian Perhubungan dan Badan Pengusahaan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Batam.
Menurut dia, satu per satu persoalan sudah ditelusuri, kemudian dibahas untuk diperoleh solusinya.
"Sudah ada solusinya. Segera kami ambil beberapa langkah strategis untuk mendapatkannya. Itu memang hak Pemprov Kepri," katanya menegaskan.
Baca juga: Laut Kepri belum mampu tingkatkan PAD
Persoalan utama dalam mengelola labuh jangkar, kata Isdianto, adalah peraturan teknis dari Gubernur Kepri. Peraturan ini sudah di meja Nurdin Basirun sejak masih aktif menjabat sebagai Gubernur Kepri.
"Belum ada pergub sehingga belum dapat menarik retribusi dari labuh jangkar," ucapnya.
Kendati demikian, pihaknya tetap optimistis akan mendapatkannya karena itu perintah undang-undang.
Pewarta: Ogen
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020