Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan memetakan zona risiko penularan COVID-19 secara rinci di empat kabupaten dan satu kota yang akan menjadi panduan bersama dalam beraktivitas di tengah pandemi.Nantinya penentuan zona yang ditandai dengan warna merah, oranye, kuning, atau hijau akan menyesuaikan dengan 14 indikator kesehatan yang dibuat Badan Nasioonal Penanggulangan Bencana (BNPB)
"Pemetaan itu akan menjadi panduan masyarakat harus berperilaku seperti apa pada zona itu," kata Wakil Ketua Sekretariat Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Daerah Istimewa Yogyakarta Biwara Yuswantana di Kantor Pusadalops BPBD DIY, Yogyakarta, Jumat.
Pemetaan zona itu, kata dia, nantinya akan menjadi dasar rekomendasi mengenai apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh masyarakat di wilayah tertentu seiring berakhirnya masa tanggap darurat bencana COVID-19 di DIY pada 30 Juni 2020.
Ia menegaskan nantinya penentuan zona yang ditandai dengan warna merah, oranye, kuning, atau hijau akan menyesuaikan dengan 14 indikator kesehatan yang dibuat Badan Nasioonal Penanggulangan Bencana (BNPB).
Kendati demikian, kata dia, masih diperlukan penyamaan persepsi mengenai metode penghitungan secara mendetail dengan dikoordinasikan dengan pemerintah kabupaten dan kota. "Mobilitas orang di DIY 'kan lintas wilayah," kata Biwara Yuswantana.
Anggota Tim Perencanaan Data dan Analisis Gugus Tugas COVID-19 DIY dr Riris Andono Ahmad, MPH, Ph.D mengatakan bahwa secara umum jika melihat situasi yang ada, DIY masuk kategori zona kuning, meski masih perlu dirincikan kembali hingga level kabupaten karena risiko penularannya tidak sama persis.
"Zona kuning pada level provinsi tapi itu perlu kita lihat lagi. Itu kan tidak sesuatu yang bisa dipukul rata di semua tempat," kata dia.
Meski DIY dapat dianggap sebagai satu satuan epidemiologi, namun kata dia, di dalamnya terdapat sub-sub populasi sehingga diperlukan zonasi yang lebih granular atau rinci.
"DIY kan beda dengan Jawa Tengah. Di Jateng tidak semua orang di semua kabupaten saling berinteraksi. DIY mungkin seperti DKI Jakarta yang kecil tapi interaksinya sangat tinggi," kata epidemiolog UGM ini.
Adapun 14 indikator yang dibuat BNPB, menurut dia, tidak seluruhnya dapat diterapkan untuk konteks DIY. Misalnya, indikator yang menyebutkan bahwa ada penurunan 50 persen dari puncak kasus.
"Itu kan tidak akan bisa diaplikasikan untuk kabupaten seperti Kulon Progo karena di sana tidak pernah ada peningkatan kasus. Hanya ada kasus impor," demikian Riris Andono Ahmad .
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2020