Menurut Titi, pilkada serentak itu akan membuat arah pemilihan umum nanti tidak jelas.
"Sangat mungkin bahwa kompetisi itu menjadi tidak jelas arahnya," kata Titi di Jakarta, Jumat.
Walaupun pilkadanya pada bulan November 2024, lalu misalnya pemilu pada bulan April 2024, otomatis harus ada distribusi calon. Masalahnya, kata dia, harus ada yang memikirkan pilkada, sementara di sisi lain harus ada yang memikirkan pilpres.
Kendati pemberdayaan pemilih sebaik apa pun, menurut Titi, tetap sulit untuk mendapatkan politik gagasan dan program bagi calon yang berkompetisi nanti. Hal ini mengingat kompleksitas pemilih akan membuat sulit untuk mendapatkan pemilih yang betul-betul logis.
Baca juga: Perludem prediksi Pilpres 2024 dapat lahirkan tokoh politik alternatif
Baca juga: Perludem: Jangan paksakan pilkada mengingat COVID-19 dan anggaran
Baca juga: Perludem minta APD COVID-19 disediakan sebelum mulai tahapan Pilkada
Selain itu, kalau pada tahun 2024 juga ada pilkada, penyelenggaraan pemilu dari sisi teknis dan sisi kompetisi politik akan kacau balau karena semua orang juga harus berkonsentrasi dalam pilpres dan pemilu anggota legislatif.
Padahal, tokoh-tokoh politik alternatif harus hadir dengan prosedur demokrasi elektoral yang baik. Kalau tokoh politik alternatif hadir di prosedur pemilu yang buruk, menurut Titi, akan sulit mendapatkan kompetisi yang baik dan memperkuat demokrasi.
Ia menyarankan penataan ulang jadwal Pilkada 2024 sehingga berlangsung pada tahun 2022 atau 2023, atau digabungkan di pertengahan 2022 dan awal 2023.
"Jadi, mau tidak mau, kita harus memastikan ada penataan jadwal untuk tidak (diadakan) pilkada nasional pada tahun 2024. Kalau kami mengusulkan pada tahun 2022, 2023, atau digabungkan di pertengahan 2022 atau awal 2023 itu harus tetap ada Pilkada. Itu menjadi pemanasan atau uji mesin kita menuju Pilpres 2024," kata Titi.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020