• Beranda
  • Berita
  • Pengembangan energi terbarukan belum optimal, minim dukungan politik

Pengembangan energi terbarukan belum optimal, minim dukungan politik

20 Juni 2020 16:14 WIB
Pengembangan energi terbarukan belum optimal, minim dukungan politik
Ilustrasi: Presiden Joko Widodo memperhatikan turbin kincir angin usai meresmikan Pembangkit Listirk Tenaga Bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/aa. (ANTARA/Abriawan Abhe)

Dukungan politik untuk energi terbarukan ini perlu diperkuat sehingga pengembangannya bisa masif, tapi melihat kondisi saat ini politisi negeri ini adalah para pendukung energi fosil

Program Manager Energy Transformation Institute for Esential Service Reform (IESR) Jannata Giwangkara menyebut berdasarkan studi yang dilakukan pada 2018 potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 431.745 MW, namun kapasitas terpasang atau yang baru dimanfaatkan untuk listrik hanya 6.830 MW.

Dalam diskusi diskusi virtual yang diadakan Yayasan Kanopi Hijau Indonesia Bengkulu, Sabtu, ia menilai potensi energi terbarukan di Indonesia belum dikembangkan dengan optimal bila dibanding negara ASEAN lainnya terutama Vietnam yang dalam dua hingga tiga tahun terakhir telah membangun 3 GW energi terbarukan.

Sementara secara global di seluruh dunia pada 2009 hingga 2019, rata-rata pembangkit yang ditambahkan lebih besar energi terbarukan khususnya tenaga surya, angin dan air, seperti yang dilakukan China, India, Amerika, dan Jerman.

"China mampu membangun 65 GW dalam setahun, kapasitas ini setara dengan seluruh pembangkit di Indonesia," ucapnya.

Sementara itu Dosen Fakultas Teknik Universitas Bengkulu Khairul Amri mengatakan tantangan pengembangan energi terbarukan adalah teknologi yang digunakan di Indonesia tertinggal dari negara lain seperti China dan India.

Baca juga: Kementerian ESDM gandeng IEA perkuat energi terbarukan

"Di sini pemerintah perlu berperan untuk mendukung pengembangan teknologi yang fokus pada pengembangan energi terbarukan," katanya.

Ia menjelaskan berdasarkan proyeksi dari Kementerian ESDM untuk periode 2019 hingga 2023, Indonesia akan membutuhkan listrik sebesar 173 GW di mana sumber listrik fosil PLTU batu bara mencapai 51 GW, dan PLTGU 61 GW, sementara tenaga air sebesar 34 GW, panas bumi 9 GW maka total EBT baru 50 GW.

"Artinya dalam 10 hingga 15 tahun ke depan, bauran energi terbarukan hanya 30 persen dari total pembangkit secara nasional," katanya.

Ketua Yayasan Kanopi Bengkulu Ali Akbar mengatakan perlu kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk mengembangkan energi terbarukan.

Sayangnya, menurut Ali, hal itu tdak terlihat di Indonesia, yang ditunjukkan dengan semangatnya anggota DPR-RI mengesahkan UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang memberikan karpet merah pada pengusaha energi fosil, khususnya batu bara.

"Dukungan politik untuk energi terbarukan ini perlu diperkuat sehingga pengembangannya bisa masif, tapi melihat kondisi saat ini politisi negeri ini adalah para pendukung energi fosil," ujar Ali.

Baca juga: Pertumbuhan energi terbarukan Indonesia tertinggi di dunia

Pewarta: Carminanda
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020