Di samping itu, dalam catatan waktu sama terdapat 400 lebih kasus kematian pasien positif COVID-19, menambah angka kematian menjadi 14.000 kasus secara akumulatif sejak kasus pertama muncul pada Januari.
Rasio kasus kematian akibat COVID-19 di India memang relatif rendah jika dibandingkan dengan negara lain yang mencatat jumlah kasus infeksi yang hampir sama, namun para pakar kesehatan masyarakat khawatir rumah sakit tak mampu menghadapi lonjakan kasus.
Sejumlah kedutaan besar asing juga memperingatkan warga negaranya yang berada di India bahwa rumah sakit mungkin tidak mempunyai kapasitas yang cukup untuk dapat menampung mereka.
Baca juga: Warga India kembali beribadah di kuil dan masjid
Baca juga: Pembatasan mulai longgar, kasus COVID-19 India lampaui Italia
Kedutaan Besar Jerman, misalnya, mengirimkan pesan kepada warga negaranya yang tinggal di New Delhi bahwa hanya "ada sedikit atau tak ada sama sekali kesempatan" untuk dirawat di rumah sakit jika mereka perlu penanganan terkait COVID-19 ataupun perawatan intensif.
Dalam imbauan resmi, Jerman mengikuti Irlandia dengan menyarankan warga negaranya meninggalkan India karena masalah ketersediaan ruang rawat di rumah sakit tersebut.
Pemerintah wilayah Ibu Kota Delhi mengeluarkan data yang menyebut lebih dari 7.000 tempat tidur di rumah sakit masih tersedia bagi pasien COVID-19 per Senin, namun para pasien yang ingin dirawat mempertanyakan akurasi data itu.
Dalam keadaan ini, dengan proyeksi puncak wabah akan terjadi dalam beberapa pekan atau bahkan beberapa bulan lagi, Perdana Menteri Narendra Modi telah melonggarkan sebagian besar pembatasan pada 8 Juni lalu, setelah berlaku hampir tiga bulan, demi menjalankan kembali roda ekonomi.
Sumber: Reuters
Baca juga: Delhi akan gunakan 500 gerbong kereta untuk rawat pasien COVID-19
Baca juga: India akan buka kembali kuil, tetapi tanpa percikan air suci
Pewarta: Suwanti
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020