"Selain industri manufaktur, edge computing bisa saja diaplikasikan di perusahaan retail, production house (PH) untuk film animasi, hingga sektor kesehatan atau healthcare," kata Yana melalui konferensi virtual, Jumat.
Edge computing adalah lokasi perantara antara "inti" cloud atau pusat data tradisional milik perusahaan dengan perangkat yang terhubung, seperti perangkat IoT (Internet of Things).
Yana mengatakan beberapa pelaku di sektor retail telah mengalokasikan teknologi ini di toko-tokonya, walaupun dalam skala kecil, guna membantu transaksional yang terjadi setiap hari.
Teknologi ini memungkinkan setiap perusahaan yang memiliki banyak cabang di berbagai daerah untuk mengelola data perangkatnya dengan cepat sehingga terhindar dari masalah latensi atau downtime secara signifikan.
Di Indonesia sendiri, penggunaan edge computing dan pengoptimalan pusat data masih belum masif untuk digunakan.
Menurut Ketua IDPro (Indonesia Data Center Provider Organization), Hendra Suryakusuma, Indonesia harus mampu beradaptasi dengan cepat agar dapat bersaing dengan derasnya arus teknologi yang terus berkembang.
"Pelaku industri data center nasional harus segera mengadopsi teknologi data center pintar, mengintegrasikan seluruh aspek penting di data center agar dapat memberikan analisa komprehensif untuk pengelolaan yang efektif dan efisien," kata Hendra.
Transformasi digital juga perlu dilakukan untuk menciptakan ekosistem pusat data yang tangguh dan berkelanjutan (sustainable) agar dapat tetap kompetitif.
"Transformasi ini juga perlu didukung dengan pembangunan dan pemerataan kompetensi professional TI baik di daerah maupun pusat," ujarnya melanjutkan.
Baca juga: EcoStruxture dukung industri "data center" pintar di Indonesia
Baca juga: Pusat Data Nasional direncanakan rampung 2023
Baca juga: Kominfo-Google Cloud sepakat bangun data center Juni ini
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2020