Karjono, melalui pernyataan tertulisnya di Jakarta, Senin, menyampaikan bahwa RUU HIP sebenarnya bertujuan memperkuat kelembagaan BPIP yang bertugas melaksanakan pembinaan ideologi Pancasila.
Hal itu disampaikannya saat webinar bertema "RUU Haluan Ideologi Pancasila Penguatan atau Degradasi Ideologi" yang digelar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Baca juga: Ketua DPD tegaskan Pancasila sudah final dan tak bisa diperas lagi
Menurut dia, saat ini berdirinya BPIP diatur berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2019.
Karena itu, katanya, pihaknya mendukung pengesahan RUU HIP agar BPIP bisa diperkuat dengan dasar hukum, terutama UU untuk menjaga dan memperkuat haluan ideologi Pancasila melalui pembinaan ideologi Pancasila.
Dalam perjalanannya muncul kontroversi, seperti soal pencantuman frasa Trisila, Ekasila dalam RUU HIP, dan belum dimasukkan dalam diktum mengingat Tap MPRS Nomor XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Karjono sepakat bahwa frasa Tri Sila dan Eka Sila dihapus karena sudah selesai dengan proses Pancasila 1 Juni, 22 Juni Piagam Jakarta dan 18 Agustus 1945, serta setuju Tap MPRS Nomor XXV/1966 tersebut dimasukkan dalam Diktum Mengingat.
Baca juga: Demo RUU HIP tegaskan Islam tak ingin ganti Pancasila
Ia mengingatkan RUU HIP merupakan inisiatif DPR sehingga prihatin jika ada anggota atau unsur parlemen yang berkomentar tidak sejalan dengan RUU tersebut karena sama saja menyalahkan diri sendiri.
Untuk itu, Karjono menghimbau dan mengajak seluruh elemen bangsa, masyarakat untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi proses pembentukan peraturan perundang-undangan kepada DPR dan pemerintah dengan tetap mendengarkan suara rakyat.
Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Zainal Arifin Hoesein menjelaskan bahwa Pancasila sebagai "staats fundamental norm" atau kaidah pokok yang fundamental itu mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap, kuat, dan tidak berubah bagi negara tersebut.
Dalam konsensus pendirian negara terdapat tiga hal utama yang harus diperhatikan, yakni cita-cita bersama sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, kesepakatan tentang landasan penyelenggara negara, dan kesepakan tentang bentuk dan prosedur negara, kata dia, maka Pancasila tidak boleh berubah, termasuk dalam pengaturan RUU HIP.
Baca juga: Demokrat tolak RUU HIP karena timbulkan polemik di masyarakat
"Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, karena itu RUU yang terkait dengan pelembagaan sebetulnya bisa saja diterima, dengan catatan bahwa TAP MPRS XXV 1966 yang menegaskan terhadap larangan paham komunisme harus dicantumkan," katanya.
Meski RUU HIP sudah masuk program legislasi nasional, sampai saat ini pemerintah belum terlibat dalam pembahasan, dan pemerintah menunda pembahasan dengan maksud memberikan kesempatan kepada DPR untuk berdialog dan menjaring lebih jauh lagi aspirasi atau masukan dari setiap elemen masyarakat.
Bahkan, sampai saat ini juga belum menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), lantaran banyaknya pro dan kontra di kalangan masyarakat, dan lebih memilih untuk fokus dalam melakukan upaya-upaya yang memiliki urgensi tinggi yakni penanggulangan wabah COVID-19.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020