“Kami dengan BI akan segera menandatangani SKB ini sebagai pelengkap SKB pertama,” katanya dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Senin.
Sri Mulyani menyatakan SKB mengenai burden sharing akan melengkapi SKB pertama tertanggal 16 April 2020 terkait Bank Indonesia yang diperbolehkan untuk membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana.
Baca juga: Kemenkeu sebut aturan bagi beban dengan BI segera selesai
“Dalam hal ini SKB pertama tertanggal 16 April tetap berlangsung dan berlaku di mana BI tetap akan menjadi standby buyer dari mekanisme pasar penerbitan SBN yang dilakukan antara pemerintah dan BI,” katanya.
Sri Mulyani menjelaskan skema burden sharing yang akan tertuang dalam SKB nanti didasarkan pada kelompok penggunaan pembiayaan untuk public goods/benefit dan non-public goods/benefit.
Pembiayaan public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan Rp87,55 triliun, perlindungan sosial Rp203,9 triliun, serta sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan Pemda Rp106,11 triliun.
Sedangkan pembiayaan untuk non-public goods yang menyangkut upaya pemulihan ekonomi dan dunia usaha, terdiri dari pembiayaan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) Rp123,46 triliun, Korporasi non-UMKM Rp53,57 triliun, dan non-public goods lainnya.
Baca juga: Menkeu pastikan langkah berbagi beban dengan BI sesuai tata kelola
Untuk pembiayaan public goods, seluruh beban akan ditanggung BI melalui pembelian SBN melalui mekanisme private placement dengan tingkat kupon sebesar BI reverse repo rate yaitu BI akan mengembalikan bunga atau imbalan yang diterima kepada pemerintah secara penuh.
Sementara pembiayaan non-public goods untuk UMKM dan Korporasi non-UMKM akan ditanggung pemerintah melalui penjualan SBN kepada market dan BI berkontribusi sebesar selisih bunga pasar atau market rate dengan BI reverse repo rate tiga bulan dikurangi 1 persen.
“Sedangkan pembiayaan non-public goods lainya, seluruh beban akan ditanggung pemerintah sebesar market rate,” ujarnya.
Dengan demikian, pembiayaan non-public-goods tetap dilakukan melalui mekanisme pasar atau market mechanism dan BI bertindak sebagai standby buyer atau last resort sesuai SKB pertama.
Sri Mulyani menyatakan pengaturan skema burden sharing dalam SKB Kedua berlaku sebagai pembiayaan APBN 2020, sedangkan untuk pembiayaan tahun berikutnya akan disusun sesuai dengan kebutuhan pembiayaan APBN tahun bersangkutan.
“Saya tekankan langkah ini diambil BI dan pemerintah akibat kondisi yang sangat extraordinary akibat adanya COVID-19 jadi bukan sesuatu yang out layer atau sesuatu yang exceptional,” katanya.
Sri Mulyani menegaskan Kemenkeu bersama BI akan melakukan burden sharing secara hati-hati serta prudent dengan tetap menjaga reputasi sebagai penjaga kebijakan moneter dan fiskal.
“Kami berkomitmen untuk menjaga kredibilitas kerangka makro policy yang bertujuan mendukung ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan,” tegasnya.
Tak hanya itu, Sri Mulyani menyatakan Kemenkeu dan BI akan terus mengawal dampak dari keputusan burden sharing terhadap keseluruhan tujuan ekonomi mulai dari pemulihan ekonomi hingga inflasi dan nilai tukar yang tetap terjaga.
“Kami dengan BI akan tetap menjaga kaidah kebijakan fiskal dan moneter yang prudent. Kita juga akan tetap menjaga tata kelola yang baik, transparan, dan akuntabel,” ujarnya.
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020