Di belahan dunia sudah menuju peradaban baru, pandemi ini mengembalikan seperti era jalan dikuasai pejalan kaki dan pesepeda
Rencana revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan diharapkan lebih melindungi kegiatan bersepeda yang kian marak sebagai salah satu transportasi pilihan dalam era normal baru.
“Kalau menyinggung booming sepeda, meskipun ada yang mengawur berbanjar di jalanan, ini adalah ekspresi yang dialami oleh kota-kota di seluruh dunia. Sepeda adalah jawaban pola physical distancing,” kata Tim Advokasi Bike to Work Fahmi Saimima dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR di Jakarta, Senin.
Namun ia mengeluhkan dari sisi fasilitas belum sepenuhnya dipenuhi oleh pemerintah. Karena itu dengan adanya revisi UU LLAJ, dia berharap akan ada perlindungan lebih terhadap kendaraan tak bermotor.
Terkait prasarana transportasi jalan, menurut dia, harus adanya sinkronisasi antara UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan di mana kewenangannya ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPUR) dengan UU LLAJ yang kewenangannya di Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Baca juga: Kemenhub bantah akan atur pajak sepeda
“Kami meminta ada aturan hukum, tupoksi yang jelas di UU Jalan, apakah kewenangannya di Kemenhub atau Kementerian PUPR, terutama aspirasi kami di jalur sepeda,” ujarnya.
Terkait lalu lintas, lanjut dia, seharusnya dilibatkan untuk kendaraan bukan bermotor, seperti sepeda dan pejalan kaki.
“Di belahan dunia sudah menuju peradaban baru, pandemi ini mengembalikan seperti era jalan dikuasai pejalan kaki dan pesepeda,” katanya.
Fahmi menambahkan jalan atau akses sedianya disediakan untuk dua ruas, yakni untuk kendaraan beremisi dan non-emisi. Akses tersebut, kata dia, sampai dengan ke stasiun KRL/MRT atau halte bus.
Baca juga: Bersepeda di masa normal baru, sekedar gaya atau demi cegah COVID-19?
“Pesepeda juga berhak parkir sepeda di ruang publik. Parkir sepeda wajib 10 persen di ruang parkir, ini sudah ada di Pergub DKI,” ujarnya.
Selanjutnya, Fahmi mengatakan terkait sanksi bagi pelanggar hukum yang mencelakai pesepeda harus diperberat.
“Terutama pasal 28, setiap kendaraan bermotor hanya didenda dua bulan dan paling banyak denda Rp500.000. Untuk luka ringan denda maksimal Rp10 juta dan satu tahun kurungan, luka berat dan meninggal dunia kurungan seumur hidup. Setiap pengendara motor dianggap mengetahui perbedaan jalan. Kita minta hukuman bagi para pelanggar ditinggikan,” ujar Fahmi.
Dalam kesempatan sama Anggota Komisi V DPR Hamka B Kady mengatakan sejumlah usulan tersebut akan dikaji dalam Prolegnas.
Baca juga: Tokoh masyarakat minta revisi UU LLAJ dipertimbangkan
“Sudah kita pahami dengan baik dan akan kita cerna mendalam dalam Prolegnas, satu UU LLAJ dan satu UU tentang jalan. Saya tambahkan naskah akademiknya belum selesai sama sekali. Kalau toh ada, itu perlu disempurnakan,” katanya.
Hamka menilai UU LLAJ sudah saatnya direvisi karena dua faktor yakni aspek keselamatan dan teknologi.
“Terkait UU LLAJ, kami revisi karena ada satu tujuan yang tak tercapai di UU itu. Kalau dalam pasal 3 itu jelas, ada tiga tujuannya termasuk keselamatan. Kedua, ada perkembangan, adanya ojek online, adanya aplikasi secara modern, itu adalah fakta. Jadi, UU ini mendesak untuk direvisi. Tidak bisa kita pungkiri,” ujarnya.
Baca juga: MTI minta pemda perbanyak parkiran sepeda berkualitas
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020