"Karena kita masih 100 persen impor. Katakanlah kita impor dari China l, maka barang yang dipesan akan menyesuaikan anggaran," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi di Jakarta, Rabu.
Akibatnya, ujar dia, barang yang diimpor tersebut menyesuaikan dengan ketersediaan jumlah anggaran pemesan sehingga belum tentu berkualitas saat digunakan kepada masyarakat.
"Jadi jika anggarannya sekian tetap dibuatkan sesuai budget yang ada," katanya.
Baca juga: UIM segera lakukan tes cepat bagi dosen dan staf kampus
Baca juga: Dinkes Cianjur : Hasil tes cepat di terminal 100 persen nonreaktif
Di sisi lain, jika tes cepat yang diimpor tersebut kualitas bagus maka harganya juga akan mahal. Namun, ketika harus menyesuaikan surat edaran nomor:HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan maka akan rugi.
Oleh karena itu, kata dia, ke depan pemerintah juga perlu mengetahui dari mana saja tes cepat tersebut didatangkan termasuk negara yang menghasilkannya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan rapid test masih dibutuhkan sepanjang alat PCR (Polymerase Chain Reaction) belum tersedia di seantero negeri.
"Semua berjalan pararel, rapid test dengan akurasi yang baik sesuai rekomendasi Kemenkes dan PCR yang lebih akurat dibanding tes cepat," kata dia.*
Baca juga: YLKI: Penetapan tarif rapid test belum atasi masalah
Baca juga: Gugus Tugas Kepri bantah isu bisnis rapid test
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020