• Beranda
  • Berita
  • Ujian nasional di tengah pandemi dan bencana, kenapa tidak?

Ujian nasional di tengah pandemi dan bencana, kenapa tidak?

9 Juli 2020 08:33 WIB
Ujian nasional di tengah pandemi dan bencana, kenapa tidak?
Seorang peserta "gaokao" melambaikan tangan kepada gurunya sebelum memasuki ruang ujian nasional di Beijing, China, pada Selasa (7/7/2020). ANTARA/Xinhua/mii/am.
Beberapa media di China sejak awal pekan ini menghiasi halaman dan portalnya dengan berita-berita tentang ujian masuk perguruan tinggi, gaokao, mirip dengan di Indonesia ketika musim ujian nasional (UN).

Gaokao menjadi momok bagi para pelajar kelas III sekolah menengah atas di China, sama halnya dengan UN di Indonesia.

Bedanya dengan UN di Indonesia, nilai gaokao tidak hanya menentukan kelulusan seorang pelajar kelas III SMA di China, melainkan juga nilai yang diperoleh seorang lulusan menjadi acuan tunggal masuk perguruan tinggi.

Pendek kata, warga setempat yang lulus SMA di China tidak perlu lagi tes masuk perguruan tinggi.

Namun yang berbeda pada gaokao tahun ini adalah penyelenggaraannya dilakukan di tengah pandemi COVID-19, bersamaan dengan bencana alam banjir bandang pula!

Sekitar 10,7 juta pelajar kelas III SMA mengikuti gaokao selama empat hari mulai Selasa (7/7). Otoritas pendidikan setempat telah menyiapkan 400 ribu ruang ujian.

Khusus di Beijing, sebanyak 49.225 siswa dari 132 sekolah menengah terdaftar sebagai peserta yang akan mengikuti UN. Mereka akan menempati 2.867 ruangan yang didesain secara khusus di tengah bayang-bayang gelombang kedua wabah COVID-19.

"Ini merupakan tantangan terbesar (bagi otoritas pendidikan dan peserta didik)," kata Li Yi selaku juru bicara Komisi Pendidikan Kota Beijing (BEC) kepada pers, Senin (6/8).

Menurut Li, mulai Jumat (10/7), beberapa sekolah yang menyelenggarakan UN telah menyiapkan berbagai fasilitas yang dibutuhkan.

Para siswa harus menggunakan cairan disinfektan sebelum ujian berlangsung dan pengatur suhu ruangan (AC) tidak boleh diaktifkan untuk menghindari penyebaran virus corona jenis baru, yang pertama kali ditemukan di Wuhan itu. Meja-meja di luar ruang ujian disiapkan, lengkap dengan disinfektan, masker, dan tisu.

"Semua siswa juga diwajibkan mengenakan masker selama ujian berlangsung. Para staf penyelenggara ujian wajib menjalani tes asam nukleat, namun tidak bagi pelajar," ujar Li menambahkan.

Untuk membantu kelancaran UN, Sekolah Menengah No 12 Beijing di Distrik Fengtai telah melakukan simulasi pada Jumat. Fengtai adalah distrik tempat Pasar Induk Xinfadi, yang melaporkan kasus COVID-19 gelombang kedua, berada.

Dari 11 Juni hingga 2 Juli, di Beijing terdapat 331 warga lokal yang positif COVID-19, yang 324 orang di antaranya masih dirawat di rumah sakit.

Baca juga: Virus lebih ganas daripada Wuhan, Beijing perpanjang karantina 28 hari

Kepala Sekolah Menengah 12 Fengtai, Jiang Yanfu, telah menyiapkan 36 ruang ujian yang masing-masing dapat menampung 20 siswa. Di China, kompleks sekolah menengah menampung siswa SMP dan SMA dengan total masa pendidikan selama enam tahun.

"Kami juga telah menyiapkan tiga ruang terpisah. Semua siswa wajib diukur suhu badannya sebelum masuk ke areal sekolah. Kalau ada siswa yang suhunya tidak normal, langsung kami bawa ke tempat khusus itu untuk diukur kembali dan guru psikologi akan disiagakan di tempat itu agar siswa tersebut tidak nervous," ujarnya.

Di ruang terpisah yang digunakan dalam keadaan darurat berdaya tampung sembilan siswa, telah dilengkapi peralatan disinfektan ultraviolet. Para pengawas di tempat itu mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap.

Para pelajar yang sedang menjalani karantina tetap diizinkan mengikuti ujian, namun hanya seorang diri di dalam satu ruangan khusus lainnya. Pemerintah setempat juga telah menyediakan kendaraan pribadi bagi pelajar yang dikarantina menuju tempat ujian.

"Ini merupakan tahun yang istimewa. Siswa di Beijing akan menjadi yang pertama menerapkan sistem baru setelah ujian diperpanjang hingga empat hari. Anak perempuan saya tidak sempat melakukan persiapan ujian di sekolah atau di kelas les ekstrakurikuler karena masalah keamanan di tengah epidemi," ujar Zhu Lijuan, warga Distrik Fengtai. Zhu mengeluhkan minimnya persiapan putrinya di Sekolah Menengah No 8 Beijing, yang melaksanakan proses belajar-mengajar di kelas hanya pada 27 April-16 Juni karena setelah itu muncul gelombang kedua COVID-19.

Baca juga: Beijing gelar UN, peserta karantina boleh ikut


Skandal

Sebelumnya pada 31 Maret, Kementerian Pendidikan China (MoE)  mengumumkan penundaan gaokao selama satu bulan.

Pelaksanaan gaokao di sejumlah provinsi dan kota setingkat provinsi pun diperpanjang menjadi empat hari.

Matematika, Bahasa Mandarin, dan Bahasa Inggris menjadi mata pelajaran wajib yang diujikan, sedangkan tiga mata pelajaran lain menjadi subjek pilihan.

Sejumlah sekolah di China tutup sejak Februari karena pandemi dan para siswanya diperintahkan belajar dari rumah.

Namun, gaokao tetap harus dilaksanakan. Selain penting bagi siswa, gaokao menjadi alat ukur sistem pendidikan yang adil dan efektif dalam menyaring bakat dan mengubah nasib para remaja di China lepas dari jerat kemiskinan, demikian bunyi komentar di Sina Weibo.

Bahkan, Pemerintah Provinsi Lioning untuk pertama kalinya menggunakan teknologi kecerdasan artifisial (AI) untuk mendeteksi segala kemungkinan ketidakwajaran dalam UN tersebut.

AI dapat dengan cepat menganalisis semua dokumen video di ruang ujian dalam waktu singkat dan mampu mendeteksi dini dugaan pelanggaran peserta ujian.

MoE telah menerbitkan surat edaran pada Kamis (2/7) mengenai pelibatan pihak kepolisian dan otoritas pengawas disiplin untuk mengambil tindakan terhadap pelanggaran gaokao.

Sepekan sebelumnya, jagat media sosial di China diramaikan oleh skandal yang terjadi pada 1997 di Provinsi Shandong atas pemalsuan identitas peserta guna mendapatkan nilai ujian agar bisa masuk universitas.

Sebanyak 14 universitas dan perguruan tinggi di Provinsi Shandong juga telah menemukan 242 tersangka pemalsuan identitas siswa peserta gaokao selama periode 2002-2009.

Dari ratusan tersangka itu, sebanyak 15 orang di antaranya telah dijatuhi hukuman penjara, demikian dilaporkan Southern Metropolis Daily.

Gaokao juga dibayang-bayangi oleh bencana alam. Hujan dengan intensitas tinggi di China sejak pekan lalu telah berubah menjadi banjir bandang yang meluluhlantakkan rumah warga, areal pertanian, dan fasilitas umum, termasuk sekolahan.

Para pelajar di Kabupaten Shexian, Provinsi Anhui, batal mengikuti UN Bahasa Mandarin dan Matematika. Pemerintah kabupaten setempat mencatat 2.756 pelajar seharusnya mengikuti UN tahun ini. Namun pada Selasa (7/7) pukul 10.00 waktu setempat (09.00 WIB), hanya 500 siswa yang tiba di tempat ujian sehingga gaokao kedua mata pelajaran tersebut terpaksa dijadwal ulang.

Di Kota Anshun, Provinsi Guizhou, beberapa siswa batal ikut ujian karena bus kota nomor 2 yang mereka tumpangi terjun ke danau. Kecelakaan yang terjadi pada Selasa (7/7) itu telah menyebabkan 21 penumpang tewas dan 15 penumpang lainnya luka-luka.

Staf Pemerintah Kota Anshun mengungkapkan bahwa bus no 2 tersebut biasanya berhenti di halte kompleks Sekolah Menengah No 3, No 5, dan No 9 kota itu. Halte Danau Hongshan, tempat bus nahas itu tercebur, tidak jauh dari kompleks sekolah tersebut, kata staf pemkot, seperti dikutip Beijing Youth Daily.

Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar RI di Beijing Yaya Sutarya memuji otoritas pendidikan setempat yang mampu menyelenggarakan UN dalam situasi dan kondisi sesulit apa pun.

Tanpa membandingkannya dengan pemerintah Indonesia yang tahun ini membatalkan UN akibat pandemi, Yaya melihat bahwa pelaksanaan gaokao di China sebagai fenomena yang menarik.

"Di sini kebijakannya sentralistik. Dari pusat sampai tingkat kabupaten kebijakannya sama. Masyarakatnya juga patuh terhadap protokol kesehatan, baik diawasi maupun tidak," ujarnya kepada ANTARA, Rabu (8/7) malam.  


Baca juga: 40 persen pelajar China kembali bersekolah, lulusan dibantu cari kerja

Baca juga: China larang guru beri pr melalui medsos

Baca juga: China umumkan data genom COVID-19 di Beijing, asalnya dari Eropa




 

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020