Asia dan Afrika, yang memang sejak awal mendorong industrialisasi, justru meninggalkan sektor pertanian. Sebaliknya Eropa dan Amerika Utara justru mulai memperlambat industrialisasi, dan meningkatkan sektor ekonomi hijau.
Ketika pandemi global virus corona tipe baru atau COVID-19 mulai menebar kekhawatiran pada Maret 2020 lalu, dunia mengawali jalan terjal dengan berbagai rentetan masalah yang siap mengadang.
Pandemi dari sebuah penyakit menular telah membuat banyak negara menerapkan restriksi perjalanan manusia dan barang. Restriksi maksimal yang dikenal dengan istilah lockdown ini menyumbat produksi dan distribusi barang di dunia, tak terkecuali untuk barang paling strategis yaitu pangan.
Terganggunya rantai pasokan barang pangan akibat kebijakan pembatasan di sejumlah negara bisa berdampak baik kepada ketersediaan maupun melonjaknya harga pangan. Produksi dan distribusi yang tersumbat juga karena kebijakan pembatasan telah mereduksi produktivitas tenaga kerja.
Organisasi PBB untuk Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agricultural Organization/FAO) pada Maret 2020 mengeluarkan peringatan kepada negara-negara di dunia tentang ancaman krisis pangan dunia karena pandemi COVID-19. Bahkan, FAO memprediksi jika berbagai negara tak melakukan antisipasi sejak dini, krisis pangan bisa mulai terasa pada pertengahan tahun ini.
Peringatan FAO ini direspon oleh banyak negara. Beberapa negara di dunia yang menjadi sentra produksi pangan, mulai menerapkan pembatasan ekspor untuk menjaga ketersediaan stok pangan dalam negeri.
Presiden Joko Widodo pada awal April 2020 sudah mewanti-wanti seluruh kepala daerah agar mempersiapkan ketersediaan bahan pangan untuk beberapa waktu ke depan. Hal-hal yang berkaitan dengan efisiensi rantai pasok seperti distribusi pangan juga harus dipastikan tidak menimbulkan sumbatan.
Presiden khawatir pandemi COVID-19 akan menimbulkan masalah sosial baru karena terjadinya krisis pangan. Belum lagi, terdapat proyeksi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa musim kemarau akan membuat sebanyak 30 persen wilayah-wilayah yang masuk zona musim di Indonesia akan cuaca yang lebih kering sehingga dapat menyulitkan produksi pangan.
Kepala Negara saat itu memberikan tiga arahan besar yakni pertama untuk memastikan, ketersediaan air di daerah sentra-sentra produksi pertanian. Kedua untuk mempercepat musim tanam. Ketiga untuk mengelola manajemen stok untuk kebutuhan pokok.
Tak berselang lama, Presiden memperkuat arahannya dengan memerintahkan jajarannya untuk mempercepat pengembangan lumbung pangan terintegrasi atau food estate di luar Pulau Jawa. Proyek yang menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 ini diharapkan dapat memperkuat cadangan barang strategis nasional.
Baca juga: Presiden datangi lokasi pengembangan lumbung pangan baru di Kapuas
Lumbung pangan terintegrasi
Presiden menitahkan Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, Kementerian BUMN, serta para kepala daerah untuk mengembangkan kawasan food estate. Kawasan ini harus terintegrasi dari produksi hingga pasca-produksi dan didukung fasilitas infrastruktur yang memadai.
Produksi bahan pangannya pun beragam, serta diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan para petani.
Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dipilih menjadi lokasi yang disiapkan sebagai lumbung pangan terintegrasi itu. Dalam food estate itu terdapat aneka sayuran, buah-buahan, dan tentunya aneka tanaman pangan kebutuhan utama masyarakat Indonesia seperti padi dan jagung. Kawasan ini juga terintegrasi karena pemerintah akan membangun sarana produksi dan infrastruktur pertanian seperti embung dan irigasi.
Penyediaan air untuk irigasi areal sawah di food estate sangat penting karena lahan potensial yang akan dijadikan lumbung pangan merupakan kawasan aluvial, bukan gambut, menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono.
Kalteng juga dipilih karena sudah memiliki jaringan irigasi, petani, hingga sistem pendukung produksi pertanian yang baik.
Presiden pada Kamis ini didampingi jajarannya meninjau langsung kesiapan food estate. Tentunya, persiapan lumbung pangan tersebut harus matang karena akan menjadi sumber cadangan logistik nasional untuk mencegah kekurangan pasokan pangan dalam negeri.
Setibanya di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, Jokowi menggunakan Helikopter Super Puma TNI AU Merah Putih terbang menuju Kabupaten Kapuas untuk meninjau lokasi lumbung pangan terintegrasi, tepatnya di Desa Bentuk Jaya, Kecamatan Dadahup, Kapuas. Di Kapuas, food estate akan menempati lahan seluas 20.704 hektare. Dari jumlah tersebut, lahan yang telah fungsional mencapai 5.840 hektare.
Korporasi petani akan menjadi basis pengembangan kawasan lumbung pangan baru di Kalimantan Tengah ini yang akan dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan. Para petani yang menggarap lahan dan peternakan itu selanjutnya akan terkonsolidasi dalam kelompok-kelompok tani dengan terlebih dahulu difasilitasi baik sarana maupun prasarana serta pendukung lainnya.
Setelah dari Kapuas, Presiden melanjutkan perjalanan menuju Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau. Di kabupaten tersebut, terdapat kurang lebih 10.000 hektare lahan potensial yang nantinya akan dikembangkan menjadi lumbung pangan baru.
Presiden mengatakan bahwa untuk tahun ini setidaknya akan diselesaikan terlebih dahulu total lahan seluas 30.000 hektare food estate dan akan meningkat menjadi total148 ribu hektar food estate hingga dua tahun ke depan di dua kabupaten itu.
"Tahun ini, Insya Allah akan kita selesaikan kurang lebih 30 ribu hektare terlebih dahulu. Kemudian berikutnya dalam 1,5 sampai maksimal 2 tahun akan ditambah lagi 148.000 hektare baik itu di Kabupaten Pulang Pisau maupun Kapuas," tuturnya.
Baca juga: Peneliti UPR dukung 'food estate' di Kalteng asal tak merusak gambut
Kemenhan leading sector
Kementerian Pertahanan akan bertindak sebagai leading sector atau lembaga terdepan untuk pengembangan food estate baru tersebut, karena menyangkut ketahanan cadangan strategis nasional.
Juru Bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan food estate merupakan upaya pemerintah untuk menghadapi ancaman nirmiliter di masa yang akan datang. Oleh karena itu, Kementerian Pertahanan terlibat aktif dalam pengembangannya.
Danhil menjelaskan berdasarkan survei yang dilakukan The Economist pada 2017, negara-negara yang mempunyai ketahanan pangan stabil justru berasal dari kawasan Eropa dan Amerika Utara.
Sedangkan Asia dan Afrika, yang memang sejak awal mendorong pertumbuhan, kemudian industrialisasi, justru meninggalkan sektor pertanian. Sebaliknya saat ini Eropa dan Amerika Utara justru mulai memperlambat industrialisasi, dan meningkatkan sektor ekonomi hijau.
Hasilnya, sektor pertanian diberi stimulus fiskal dengan limpahan subsidi. Hal itu membuat Eropa dan Amerika Utara diprediksi memiliki ketahanan pangan yang kuat pada 10 tahun mendatang.
Dalam konteks itulah, Indonesia tersadar bahwa manifesto kebijakan ekonomi tak akan menciptakan kesejahteraan jika kebutuhan pangan tidak mencukupi, terlebih di situasi pandemi.
“Maka negara, dalam hal ini Presiden, merevitalisasi logistik kita, pangan kita melalui food estate itu. Itu kesadaran itu kemudian tumbuh di era Covid-19 ini secara baik," kata Dahnil.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dari total lahan potensial di Kalteng yang bisa menjadi food estate, sebanyak 85.500 hektare merupakan lahan fungsional yang sudah digunakan untuk berproduksi setiap tahunnya. Sementara 79.500 hektare sisanya sudah berupa semak belukar sehingga perlu dilakukan pembersihan (land clearing).
Dari 85.500 hektare lahan fungsional, sekitar 28.300 hektare yang kondisi irigasinya baik. Sementara 57.200 hektare lahan lainnya diperlukan rehabilitasi jaringan irigasi dalam rangka program food estate. Rehabilitasi ini dikerjakan secara bertahap mulai dari tahun 2020 hingga 2022.
Baca juga: Mentan optimistis pembangunan lumbung pangan di Kalteng
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2020