Program ini dibiayai menggunakan dana dari World Bank. Saat ini, pekerjaan penataan sudah mencapai sekitar 30 persen.
Penataan kawasan kumuh di bantaran Sungai Winongo di Kota Yogyakarta menjadi satu-satunya program penataan kawasan kumuh yang tetap dilanjutkan di masa pandemi COVID-19 dan ditargetkan seluruh pekerjaan penataan tahap dua tersebut selesai pada Mei atau Juni 2021.
“Program ini dibiayai menggunakan dana dari World Bank. Saat ini, pekerjaan penataan sudah mencapai sekitar 30 persen,” kata Kepala Bidang Perumahan Permukiman dan Tata Bangunan Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPUPKP) Kota Yogyakarta Sigit Setiawan di Yogyakarta, Selasa.
Menurut dia, penataan kawasan kumuh di bantaran Sungai Winongo tersebut mengacu pada konsep penataan yang sudah dilakukan di bantaran Sungai Gajah Wong, terutama di Kelurahan Muja Muju dan Giwangan yang juga dibiayai menggunakan dana dari sumber yang sama.
Dalam penataan tersebut dilakukan pembangunan jalan inspeksi dengan lebar sekitar tiga meter yang juga dilengkapi dengan sarana dan prasarana sanitasi masyarakat seperti instalasi pengolahan air limbah komunal hingga ruang terbuka hijau publik.
Sejumlah rumah pun terpaksa dipangkas agar lahan yang tersisa bisa digunakan sebagai jalan inspeksi.
Dalam penataan bantaran Sungai Winongo yang dilakukan di tiga kelurahan yaitu Pakuncen, Pringgokusuman, dan Tegalresjo tersebut terdapat sekitar 20 rumah warga yang terdampak karena harus dipangkas.
“Rumah tidak ditinggikan atau dibuat dua lantai karena luasnya memang masih layak untuk dijadikan tempat tinggal. Warga pun tidak dipindah ke lokasi lain,” katanya.
Penataan kawasan kumuh di bantaran Sungai Winongo tersebut dibiayai dengan alokasi anggaran Rp14 miliar dengan berdasarkan pada perencanaan yang sudah disusun oleh Pemerintah Kota Yogyakarta.
Untuk penataan kawasan kumuh yang dibiayai menggunakan dana APBD Kota Yogyakarta untuk tahun ini ditunda dan akan diusulkan kembali pada tahun anggaran 2021.
Sejumlah pekerjaan yang ditunda tersebut di antaranya penataan kawasan kumuh di Gunungketur, Prenggan, Kampung Karang, dan Kampung Sambirejo.
“Penataan kawasan kumuh memang diprioritaskan untuk tanah yang berstatus Sultan Ground (SG) terlebih dulu meskipun ada pula tanah yang sudah memiliki sertifikat,” katanya.
Ia menyebut penataan juga mengacu pada konsep M3K (mundur, munggah, madep kali atau memundurkan rumah, dan menghadapkan rumah ke arah sungai).
Ia menambahkan masih ada wilayah di bantaran sungai yang belum bisa ditata karena belum ada titik temu dengan warga. “Misalnya untuk tempat tinggal pengganti jika memang seluruh rumah harus direlakan untuk penataan,” katanya.
Sebelumnya, salah satu ketua komunitas sungai yaitu dari Forum Silaturahmi Daerah Aliran Sungai (Forsidas) Gajah Wong Purbudi Wahyuni mengatakan, proses penataan kawasan kumuh di bantaran sungai membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Terutama untuk memberikan pengertian ke masyarakat agar tidak tinggal terlalu mepet dengan sungai. Tetapi, pelan-pelan masyarakat memahami dan kini sudah mulai terbangun jalan inspeksi di tepi Sungai Gajah Wong,” katanya.
Meskipun demikian, lanjut dia, masih ada beberapa titik yang belum bisa ditata karena masyarakat belum memiliki pemahaman, salah satunya di belakang situs Warungboto dan di utara Akademi Perikanan Yogyakarta (APY).
“Dalam penataan kawasan kumuh bantaran sungai, kami memang mengutamakan masyarakat yang sudah siap terlebih dulu. Jika tidak siap, ya ditinggal saja. Kalau menunggu, waktunya akan semakin lama,” katanya.
Masyarakat yang tinggal di sekitar lingkungan yang sudah tertata, lanjut dia, biasanya akan merasa lebih nyaman karena kondisi lingkungan yang lebih bersih dan asri.
Pewarta: Eka Arifa Rusqiyati
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020