Thailand telah mencatat 50 hari tanpa penularan lokal, tetapi dua kasus yang merupakan warga asing telah menyebabkan lebih dari 400 orang harus menjalani isolasi mandiri dan ketakutan yang menyebar di media sosial.
"Ini seharusnya tidak terjadi, saya benar-benar minta maaf karena ini terjadi dan saya ingin meminta maaf kepada publik," kata Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha.
Mereka yang diharuskan menjalani isolasi mungkin terpapar oleh seorang awak pesawat militer Mesir berusia 43 tahun di Provinsi Rayong dan seorang anak perempuan berusia 9 tahun yang merupakan anggota keluarga seorang diplomat Sudan di Bangkok.
Keduanya dikecualikan dari aturan karantina wajib 14 hari, yang diberlakukan Thailand terhadap siapapun yang kembali dari luar negeri.
Kekhawatiran menyebar di antara warga Thailand di media sosial bahwa gelombang infeksi kedua dan penguncian baru dapat terjadi di negara yang dengan cepat kembali normal setelah pembatasan dikurangi.
Dua sekolah ditutup di Bangkok pada Selasa dan sedikitnya 10 sekolah ditutup di Provinsi Rayong, tempat orang Mesir itu tiba Rabu pekan lalu (8/7) dan menghabiskan waktu di sebuah mal sebelum meninggalkan wilayah itu pada Sabtu (11/7).
Area perbelanjaan dan jalan-jalan di Rayong sepi. Menurut media, sekitar 90 persen pemesanan hotel dibatalkan.
Semua diplomat dan anggota keluarga, yang sebelumnya diizinkan untuk melakukan karantina mandiri di tempat tinggal mereka, sekarang harus dikarantina di bawah pengawasan pemerintah.
Kunjungan jangka pendek oleh pengusaha dan tamu negara yang diizinkan masuk pada 1 Juli telah ditangguhkan. Tes COVID-19 telah diberikan kepada mereka yang mungkin telah terpapar pada dua kasus tersebut.
Sejak Januari, Thailand mencatat 3.227 kasus COVID-19 dengan 58 kematian.
Sumber: Reuters
Baca juga: Thailand perketat perbatasan cegah gelombang kedua COVID-19
Baca juga: Thailand berlakukan uji cepat corona bagi pengunjung internasional
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2020