Dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, Rimawan Pradiptyo menceritakan pada 10 September 2019 dukungan akademisi mencapai 2.000 orang dari puluhan universitas se-Indonesia.
Baca juga: Bagir Manan nilai ada anomali Presiden tak teken revisi UU KPK
"Kami melakukan gerakan ini karena spontanitas," ujar Rimawan Pradiptyo yang dihadirkan oleh Agus Rahardjo dkk
Kemudian sebanyak 255 ekonom Indonesia yang bekerja di universitas, lembaga riset mau pun independen menandatangi surat terbuka kepada Presiden dan membuat naskah akademik.
Naskah akademik itu disebutnya berisi analisis dampak negatif masifnya korupsi terhadap perekonomian serta kesejahteraan masyarakat.
"Sebenarnya saat materi ini dibuat siapa yang diuntungkan dari pelemahan ini, bukan siapa-siapa, tidak akan ada yang diuntungkan. Yang justru dirugikan adalah DPR dan pemerintah," ujar dia.
Baca juga: Ahli: Revisi UU KPK tetap sah meski KPK tak dilibatkan
Ada pun pemohon dalam permohonannya mempertanyakan keabsahan secara prosedural pembentukan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang tidak sesuai dengan asas pembentukan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.
Pemohon mendalilkan anggota DPR yang hadir saat pengesahan tidak mencapai kuorum, KPK tidak dilibatkan saat pembahasan dan UU tersebut diselundupkan karena tidak masuk Prolegnas 2019.
Baca juga: MK lanjutkan sidang revisi UU KPK
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020