Status terpidana artinya perkara yang dilakukan Joko Tjandra telah mendapat keputusan berkekuatan hukum tetap (inkrah) dari pengadilan.
Karena, berdasarkan Pasal 263 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), putusan perkara pidana yang dapat diajukan peninjauan kembali haruslah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Sedangkan, status terdakwa artinya yang bersangkutan masih dalam proses peradilan (belum inkrah). Ditambah, Joko Tjandra lebih dulu kabur sebelum putusan dibacakan Mahkamah Agung pada 12 Juni 2009.
Artinya, yang bersangkutan belum pernah menjalani dakwaan/ hukuman dari Hakim Pengadilan.
Ketika Joko Tjandra menjadi buronan yang dicari Kejaksaan Agung bertahun-tahun, sebetulnya itu sudah cukup membuat malu penegakan hukum di Indonesia.
Tapi, dia terus menambah malu dengan menyusup kembali ke Negara Hukum ini tanpa tertangkap aparat penegak hukum, dan mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Bahkan yang bersangkutan masih sempat membuat KTP dan paspor baru. Ironisnya, ada juga aparat penegak hukum yang tidak mengenal buruannya itu.
Apakah itu artinya penegak hukum Indonesia sudah kalah oleh warga negaranya sendiri?
Jika benar demikian, berarti patutlah kita memiliki penegak hukum baru yang lebih kuat dari penegak hukum yang sekarang ada.
Penegak hukum yang baru itu tidak boleh hanya bergerak berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saja, namun harus merupakan manifesto Pancasila, ideologi bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi bangsa, memiliki sila-sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, serta Keadilan.
Oleh karena itu, tindak-tanduk Badan Pancasila harus mencerminkan kelima sila tersebut.
RUU BPIP
Pemerintah mengusulkan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) kepada DPR RI.
RUU BPIP itu mungkin bisa menjadi jalan masuk terbentuknya sebuah lembaga yang menjadi Keadilan bagi Rakyat untuk mengadili terpidana yang tak bisa diadili penegak hukum lawas, yaitu para pengusaha korup dan orang-orang kaya yang rakus.
Kita tahu, RUU BPIP muncul diawali dengan kontroversi dan penolakan dari masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Namun, RUU BPIP dan RUU HIP merupakan dua Rancangan Undang-Undang yang berbeda.
Perbedaan pertama, RUU BPIP merupakan RUU usulan pemerintah, RUU HIP adalah usulan legislatif.
Kedua, secara substansi, RUU BPIP bukan produk hukum yang dapat mengatur haluan ideologi Pancasila seperti kakaknya, RUU HIP.
Masyarakat pasti menolak, jika Pancasila yang sudah final sejak negara berdiri itu dibuat produk Undang-Undangnya yang seakan mengatur-atur Haluan Ideologi Dasar Negara yang bisa diubah-ubah tergantung siapa yang berkuasa nantinya.
RUU BPIP bukan UU yang diperuntukkan untuk mengatur ideologi bangsa, tapi untuk sebuah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Sebagaimana BPIP membumikan Pancasila selama ini, diharapkan BPIP ke depan dapat membumikan hukum yang kerap dipandang sebelah mata oleh para penguasa korup dan orang-orang kaya yang rakus.
Pancasila adalah hukum di atas segala hukum. Ketika pelaksanaan BPIP hanya diatur Peraturan Presiden, ia mungkin kurang maksimal.
Ketika ditingkatkan menjadi Undang-Undang, bisakah dia menjadi Badan yang Super?
Bahkan aparat penegak hukum sekalipun, dapat dihukum oleh lembaga BPIP itu bila dinyatakan bersalah.
Gotong-royong
Karena dasarnya adalah Pembinaan Ideologi Pancasila, BPIP bisa menjadi sumber penegakan hukum gotong-royong.
Kita selama ini selalu menyaksikan produk Undang-Undang yang diterapkan dari atas ke bawah, dari penguasa kepada rakyatnya.
Tapi belum ada produk Undang-Undang yang murni menjadi dasar hukum bagi rakyat untuk bergotong-royong menindak penguasa yang korup, atau orang-orang kaya yang rakus. Selama ini, penjara bukan solusi penegakan hukum bagi mereka.
Bukankah selama ini penjara penuh, kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.
Bahkan narapidana yang telah dihukum penjara sekian tahun, bisa dilepas karena alasan penjara penuh.
Penjara penuh karena penyelesaian hukum rata-rata selalu bertumpu pada penjara. Padahal di penjara, terpidana penguasa korup dan orang-orang kaya rakus masih bisa bermain.
Mereka mungkin masih bisa tertawa-tawa ketika dipenjarakan. Melambaikan tangan ke kamera, tersenyum kepada wartawan.
Tapi coba mereka dihukum rakyat secara bergotong-royong, lalu mereka diberikan tugas untuk mengamalkan Pancasila dalam keseharian mereka.
Perintah mereka berbaur dengan rakyat, bertani, berladang, bercocok tanam. Mungkin lumbung pangan bisa tercipta dari hasil keringat mereka.
Berikan mereka tugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, bahkan ikut serta dalam perdamaian dunia. Pasti tersenyum saja mereka sulit.
Mereka memang dilepas atau tidak dipenjara dalam ruangan. Tapi keterasingan justru menjadi penjara mereka. Dan para patriot Pancasila yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini, yaitu Para Tentara Nasional Indonesia menjadi pengawas mereka.
Sementara petugas BPIP adalah masyarakat sipil independen. Mereka yang membuat standar kinerja untuk narapidana yang diasingkan itu sampai hukumannya berakhir. Supaya mereka punya target pencapaian kinerja.
Lalu, rampas saja kartu-kartu ATM mereka, supaya mereka belajar hidup jadi orang susah. Cari makan sendiri dengan bertani, berladang, bekerja untuk rakyat.
Kalau perlu, jika Indonesia sewaktu-waktu perang. Biarlah pelaku extraordinary crime itu yang jadi prajurit paling depan.
Suruh mereka angkat senjata, saya sepakat dengan pak Try Sutrisno, RUU BPIP membangkitkan jiwa patriotisme bangsa.
RUU ini adalah jawaban dari keresahan masyarakat. Tapi kalau RUU BPIP ini justru dibuat untuk menambah beban hukuman bagi rakyat yang miskin, orang-orang tak punya kuasa, ulama-ulama miskin yang mungkin khilaf terjebak dalam pemikiran ekstrem karena dipancing oleh ketidakadilan hukum di negeri ini.
Mereka bisa saja melawan RUU BPIP itu lagi seperti kakaknya, RUU HIP.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020