"Situasi saat ini merupakan kesempatan baik bagi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mendengarkan masukan dari berbagai pihak dan menformulasikan kembali hal-hal yang menjadi pro dan kontra," kata Ratna dalam sebuah diskusi daring tentang kekerasan seksual yang diikuti di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Legislator: RUU dikeluarkan lalu masuk lagi itu biasa
Ratna mengatakan pembahasan naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebelumnya sudah cukup dinamis. Karena merupakan produk legislasi usulan DPR, pemerintah saat itu sudah menyusun daftar inventaris masalah untuk dibahas.
Sejumlah hal dalam naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan daftar inventaris masalah memang menjadi perdebatan banyak pihak, termasuk penamaan RUU tersebut.
"Arahan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ini adalah masa untuk mengonsolidasikan kembali langkah tindak lanjut untuk menanggapi dukungan kuat dari masyarakat, akademisi, mahasiswa, musisi, sineas, tokoh agama, dan juga para penyintas kekerasan seksual," tuturnya.
Ratna mengatakan penghapusan RUU tersebut dari prioritas pembahasan DPR memang mengecewakan banyak pihak, meskipun tetap terbuka untuk dibahas kembali pada 2021.
Banyak pihak yang kemudian menanggapi penghapusan dari prioritas pembahasan tersebut dengan meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk tetap mengawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk kembali dibahas.
Baca juga: Diah Pitaloka desak pembahasan RUU PKS dilanjutkan
"Kekerasan seksual paling banyak dialami perempuan dan anak," ujarnya.
Menurut Ratna, perlu dilakukan rangkaian diskusi kembali untuk memformulasikan ulang hal-hal yang selama ini menjadi pertentangan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
"Kita juga perlu melakukan diskusi-diskusi informal dan lobi-lobi. Karena RUU ini adalah inisiatif DPR, maka pemerintah memang lebih banyak menunggu," katanya. (T.D018)
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020