• Beranda
  • Berita
  • Pansus Papua: perlu pendekatan dialogis kedepankan kesetaraan di Papua

Pansus Papua: perlu pendekatan dialogis kedepankan kesetaraan di Papua

22 Juli 2020 22:16 WIB
Pansus Papua: perlu pendekatan dialogis kedepankan kesetaraan di Papua
Arsip-Ketua Pansus Papua DPD RI, Filep Wamafma (tengah) saat bertatap muka dengan masyarakat adat di Kampung Sembab, Distrik Masni Kabupaten Manokwari, Papua Barat pada Kamis (12/3/2020) (Antara/Toyiban)

Ketua Panitia Khusus (Pansus) Papua DPD RI Filep Wamafma menyampaikan ada empat persoalan pokok di Papua sehingga perlu pendekatan dialogis yang mengedepankan kesetaraan, kebersamaan, keterbukaan, dan kejujuran sebagai sesama anak bangsa.

"Intinya ada empat persoalan pokok di tanah Papua, pertama, perbedaan pemahaman dan pandangan tentang sejarah Papua. Kedua, persoalan HAM. Ketiga, pembangunan yang belum sepenuhnya terealisasi dan keempat marginalisasi-diskriminasi Orang Asli Papua (OAP)," kata Filep dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Hal itu dikatakan Filep saat menyampaikan Laporan Akhir Pansus Papua DPD RI pada Sidang Paripurna XI DPD RI, pada Rabu.

Menurut dia, berbagai upaya yang sudah dilakukan Pemerintah mulai dari masa Orde Baru sampai sekarang belum mampu menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.

Baca juga: Mahfud minta satgas di Papua tak mudah terpancing provokasi
Baca juga: Pansus Papua panggil 2 menteri terkait dana Otsus
Baca juga: Pansus dukung penguatan dialog Jakarta-Papua
Baca juga: Pansus DPD RI dorong penanganan masalah Papua dilakukan sinergis


Karena itu dia menilai, pendekatan dialogis yang mengedepankan kesetaraan, kebersamaan, keterbukaan, dan kejujuran sebagai sesama anak bangsa merupakan solusi terbaik yang ditawarkan.

"Format dialog, konten/isi dialog, dan peserta dialog harus dipikirkan serius dengan melibatkan semua pihak, baik dari unsur pemerintah, maupun dari unsur kelompok yang dipandang separatis, bahkan jika dimungkinkan, dihadirkan pula pihak-pihak lain yang memandang persoalan di Papua sebagai persoalan Internasional," ujarnya.

Dia menilai, Pemerintah juga dapat mengadopsi Perjanjian Helsinki untuk Aceh dalam menyelesaikan persoalan di Papua dan pemerintah tidak boleh abai terhadap persoalan tersebut.

Filep mengatakan, terkait kondisi dan persoalan yang terjadi di Papua, Pansus merekomendasikan beberapa hal, pertama, pemenuhan HAM dan penyelesaian persoalan HAM.

Menurut dia, pemerintah harus melakukan upaya nyata untuk menyelesaikan berbagai persoalan HAM masa lalu dan juga berbagai kasus aktual menyangkut Papua seperti persekusi rasial yang terjadi beberapa waktu yang lalu.

"Kejaksaan Agung RI membentuk Tim Kerja bersama dengan Komnas HAM RI serta memperhatikan berbagai penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM dan menindaklanjutinya secara profesional," katanya.

Kedua menurut dia, terkait pembangunan di Papua, pemerintah wajib memperhatikan konsep tipologi pembangunan di Papua yaitu dengan menjadikan masyarakat adat seperti Dewan Adat Papua, agama, Pemerintah Daerah sebagai subjek utama perencanaan pembangunan di Papua berbasis wilayah adat.

Hal itu menurut dia karena secara psikologis, orang Papua lebih percaya pada Dewan Adat, Agama dan Pemerintah Daerah sehingga Pemerintah perlu menjadikan Lembaga Adat, Gereja dan Pemda sebagai mitra Pemerintah dalam pembangunan.

"Pemerintah wajib mendorong pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan, dengan memberikan penguatan kepada klasifikasi pendidikan bagi OAP, klusterisasi berdasarkan kota, desa, dan komunitas adat terpencil dan pendidikan vokasi yang berbasis potensi ekonomi daerah. Lalu untuk kesehatan, implementasi regulasi penanganan penyakit dan adanya standar mutu kesehatan khusus bagi Papua," katanya.

Ketiga menurut dia, peningkatan peran Orang Asli Papua (OAP). Pemerintah harus melakukan rekognisi sebuah pengakuan bahwa orang Papua bisa menjadi "tuan" di daerahnya sendiri.

Dia menjelaskan, Pemerintah perlu menitikberatkan peran OAP dalam aspek pembangunan dan tata kelola pemerintahan.

"Percepatan implementasinya dilakukan melalui pengangkatan honorer dan penerimaan pegawai diutamakan khusus Orang Asli Papua," katanya.

Keempat menurut dia, rekonstruksi otonomi khusus (Otsus) melalui revisi UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, karena itu DPD mendorong untuk menginisiasi revisi terbatas terkait pengelolaan dana otonomi khusus yang diatur dalam UU dan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan UU Otsus yang dilakukan secara paralel setelah revisi terbatas dilakukan.

Dia menjelaskan rekonstruksi Otsus harus dua arah, tidak hanya melibatkan Pemerintah, melainkan juga melibatkan Masyarakat Adat, Majelis Rakyat Papua, dan DPD RI.

"Posisi DPD RI harus menjadi motor dan inisiator bagi rekonstruksi Undang-Undang Otonomi Khusus. Peran Pemerintah Pusat adalah fasilitator saja," katanya.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020