Dialek Jakarta "Ngge Ade Matinye"

21 November 2009 18:30 WIB
Dialek Jakarta "Ngge Ade Matinye"
"Ya iya lah, masa ya iya dong. Duren aja dibelah, bukan dibedong," demikian nukilan lagu berjudul "Bukan Superstar" yang disenandungkan Project Pop, kelompok penyanyi asa Bandung, Jawa Barat.

Nukilan lagu "anak-anak jebolan universitas di Bandung" itu menunjukkan bagaimana mereka juga sudah biasa menggunakan dialek Jakarta, meski mereka tinggal di luar ibu kota.

"Lah" dan "dong", juga "sih", "doang", "gue", maupun "elu" adalah bagian yang tadinya hanya menandai "omong Betawi". Kini, kata-kata itu digunakan semua orang.

Dalam pengantarnya di Kamus Dialek Jakarta (Edisi Revisi), Harimurti Kridalaksana mengatakan, perkembangan bahasa yang sangat mencolok dewasa ini ialah makin besarnya pengaruh dan peranan dialek Melayu Jakarta dalam bahasa Indonesia.

Unsur-unsur dialek Jakarta sekarang menjadi bagian yang menonjol dari ragam tak resmi, baik lisan maupun tulisan, dalam bahasa Indonesia dewasa ini di Jakarta maupun di luar Jakarta.

Itu disebabkan Jakarta adalah ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang lebih dominan dan berwibawa dari daerah lain, bukan hanya di bidang politik, melainkan juga dalam segala aspek kehidupan kultural.

"Gaya hidup orang Jakarta menjadi standar bagi orang-orang di luar Jakarta. Segala olah dan tingkah orang Jakarta ditiru," kata Harimurti.

Karena orang Jakarta mempunyai gaya khas dalam cakapnya, maka cakap Jakarta ini pun ditiru sehingga tersebarlah dialek Jakarta. Penyebaran itu diperluas oleh penyebaran media massa dari Jakarta.

Karya besar

Menjelang akhir 1960-an sampai dengan 1970-an secara berturut-turut lahir satu per satu enam karya besar mengenai dialek Jakarta. Pada periode itu terbit empat disertasi dan dua kamus mengenai dialek tersebut.

Berdasarkan catatan ahli linguistik dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Bambang Kaswanti Puro, keenam karya besar tersebut menjelaskan antara lain tentang seluk beluk dan lahirnya dialek yang kini disebut dialek Betawi atau dialek Jakarta.

Mereka adalah "Melayu Betawi Grammar", disertasi University of Hawaii oleh Kay Ikranagara (1976); "Linguistic and Social Dimensions of Phonological Variation in Jakarta Malay", disertasi Cornell University oleh Stephen Wallace (1976); "Morfologi Dialek Jakarta", disertasi Universitas Indonesia oleh Muhadjir (1977); dan "Jakarta Malay", disertasi (dua jilid) Universitas Leiden (hasil penelitian 1968-1972, oleh C.D. Grijns (1991).

Selain itu, "Worterverzeichnis des Omong Djakarta", oleh Hans Kahler (1966); "Kamus Dialek Jakarta oleh Abdul Chaer" (1976) dan "Kamus Dialek Jakarta", Edisi Revisi (2009).

Tentang dialek Jakarta, Muhajir berpendapat bahwa secara garis besar terbagi atas dua subdialek, yakni dalam kota dan pinggiran di seputar kota.

Sementara itu, Abdul Chaer membedakannya atas empat wilayah geografis. Yang di dalam kota atau yang lazim disebut "Betawi Tengah" atau "Betawi Kota" berada di tiga wilayah yakni (1) Mester Jatinegara, Kampung Melayu, dan sekitarnya, (2) Tanah Abang (Tanah Abang, Petamburan, dan sekitarnya), (3) Karet (Karet, Senayan, Kuningan, Menteng, dan sekitarnya).

Subdialek di daerah pinggiran "Betawi Pinggiran" atau "Betawi Ora"; (4) Kebayoran (Kebayoran, Pasar Rebo, Bekasi dan daerah sekitarnya). Muhajir menambahkan Pulo Gadung dan Cengkareng sebagai wilayah Betawi Pinggiran.

Berkaitan dengan perkembangan dialek Jakarta, Bambang Kaswanti Puro mencatat bahwa ketika memasuki abad ke-20, sebagaimana dikemukakan oleh Muhajir, dialek Jakarta berkembang menjadi dua dialek sosial. Yang satu dituturkan oleh penduduk asli Jakarta yang lebih tua dan yang kedua yang dikembangkan oleh generasi muda yang kelahiran Jakarta.

Yang satu itu oleh Wallace disebut berpola tradisional dan konservatif dan yang kedua merupakan media kreatif dan inovatif yang mulai menyimpang dari pola tradisional.

Yang kedua ini, yang semula merupakan bahasa kaum muda Jakarta, dalam perkembangannya menjadi dasar bagi perkembangan ragam bahasa Indonesia lisan yang informal. Ragam ini meluas diikuti oleh kaum muda di luar wilayah Jakarta dan menyebar juga pemakaiannya di kalangan yang lebih tua.

Bambang juga mencatat bahwa dialek Jakarta tidak lagi semata-mata digunakan dalam media lisan, tapi mulai merasuki dunia tulis.

"Yang paling menarik adalah karya Firman Muntaco (1935-1993), yang merupakan koleksi ceritanya yang seluruhnya ditulis dengan dialek Jakarta," kata Bambang.

Kisah sedih

Berkaitan dengan empat subdialek yang digambarkan Abdul Chaer, Bambang menyayangkan bahwa kini tidak mungkin lagi subdialek-subdialek itu diteliti dan didokumentasikan karena wilayahnya menjadi porak poranda oleh perkembangan yang bernama modernisasi.

Dalam waktu yang cepat batas-batas antarwilayah itu menjadi makin tidak jelas karena makin meningkatnya urbanisasi dan penduduk asli makin terdesak untuk pindah ke pinggiran Jakarta.

Pada pertengahan abad ke-20 berbagai proyek pembangunan, seperti perumahan di Kebayoran Baru, Grogol, stadion olah raga Senayan, daerah industri Pulo Gadung, telah menggusur dan mencerai-beraikan permukiman yang semula merupakan kampung-kampung tempat tinggal warga Betawi.

"Ini akibat samping dari langkah positif yang namanya pembangunan, tapi yang merupakan kisah sedih bagi penduduk asli Jakarta yang harus membayar mahal. Ini kisah sedih juga bagi para peneliti dan pecinta bahasa dan budaya," kata Bambang.

Telah terbitnya enam karya besar tentang dialek Jakarta, merupakan suatu keberuntungan karena para pecinta bahasa dan budaya, khususnya masyarakat Betawi, melalui karya-karya tersebut dapat menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, termasuk bahasa, yang merupakan fondasi dari jati diri masyarakat Betawi.

Apalagi ternyata kini dialek Jakarta, banyak digunakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah lain di Indonesia, selain Jakarta, dalam berkomunikasi.

Jadi, meski ada kesedihan karena sejumlah subdialek Jakarta hilang" karena pembangunan, namun melihat perkembangan komunikasi informal saat ini seharusnya ada rasa bangga karena dialek Jakarta sudah menasional.

Dialek Jakarta, kata orang Betawi yang menggunakan subdialek Kebon Jeruk, "ngge ade matinye".  (*)

Oleh Oleh Ahmad Buchori
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009