Memahami vaksin dan proses pembuatannya

23 Juli 2020 19:09 WIB
Memahami vaksin dan proses pembuatannya
Dokumentasi - Botol kecil berlabel stiker "Vaksin COVID-19" dan jarum suntik medis, terlihat dalam ilustrasi yang diambil pada (10/4/2020). (ANTARA/REUTERS/Dado Ruvic/pri.)
Vaksin merupakan imunisasi aktif karena bekerja dengan pertahanan alami tubuh untuk membangun perlindungan terhadap kuman penyakit.

Pemberian vaksin bertujuan untuk mencegah terjangkit penyakit, termasuk saat pandemik COVID-19 yang disebabkan virus corona jenis baru, SARS-CoV-2.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi mengatakan vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lainnya, yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.

Dari laman Badan Kesehatan Dunia (WHO) disebutkan vaksin penting untuk pencegahan dan pengendalian wabah penyakit menular. Vaksin mendukung keamanan kesehatan global dan akan menjadi alat vital dalam pertempuran melawan resistensi antimikroba.

Saat ini berbagai pihak di dunia sedang berlomba menciptakan vaksin COVID-19.

Saat vaksin masuk ke dalam tubuh manusia, vaksin tersebut akan merangsang sistem imunitas tubuh agar dapat memproduksi antibodi.

Vaksin dimasukkan ke dalam tubuh penerima dengan sejumlah cara, antara lain diinjeksi dengan suntikan ke dalam massa otot, disuntikkan pada lapisan teratas kulit, diberikan secara oral, dan disemprotkan melalui mukosa nasal.


Proses panjang

Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko menuturkan proses pembuatan vaksin hingga vaksin dapat dilepas di pasar atau digunakan masyarakat luas terbilang panjang.

"Proses penemuan kandidat vaksin di laboratorium juga tidak mudah karena proses riset dan pengembangan yang benar-benar mendalam dan kompleks," kata Handoko kepada ANTARA, Jakarta, Kamis.

Setelah ditemukan kandidat vaksin, masih ada serangkaian tahapan pengujian, seperti uji in vivo pada hewan, uji klinis tahap I, II dan III, skala produksi, hingga akhirnya imunisasi.

"Pengalaman menunjukkan vaksin itu bisa (ditemukan) belasan tahun, dan belasan tahun juga bisa tidak terjadi apa-apa, tidak muncul juga," ujarnya.

Kandidat vaksin tersebut pertamanya akan diujikan pada hewan. Jika tidak berhasil, maka akan dilakukan formulasi ulang hingga mendapatkan vaksin yang benar-benar efektif merangsang respons imun. Setelah teruji secara in vivo, maka dilanjutkan uji klinis pada manusia yang juga mencakup tiga tahap, yakni tahap I-III.

Berdasarkan informasi dari Badan kesehatan Dunia, vaksin harus melalui berbagai uji keamanan, efikasi dan berbagai uji klinis terhadap kemungkinan munculnya efek samping, cara pencegahannya dan cara penanganannya jika efek samping muncul.

Uji klinis adalah studi sistematik terhadap berbagai intervensi medis yang dilakukan pada manusia untuk melihat efektivitas dan efek samping yang mungkin ditimbulkan dari pemberian vaksin.

Dalam uji klinis, dipelajari juga absorpsi, distribusi, metabolisme,dan ekskresi dari bahan farmasi yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia agar didapat informasi tentang efikasi dan keamanan dari produk farmasi tersebut.

Pada uji klinis fase I, dilakukan uji keamanan dan imunogenisitas vaksin pada beberapa orang yang risiko rendah, umumnya orang dewasa muda yang sehat, untuk menguji tolerabilitas terhadap vaksin.

Uji klinis fase II dimaksudkan untuk memantau keamanan vaksin, potensi munculnya efek simpang, respons imun, menentukan dosis optimal dan jadwal pemberian vaksinasi.

Uji klinis fase III bertujuan untuk melihat efikasi vaksin dalam mencegah penyakit yang ditargetkan dan pengamatan lebih jauh tentang keamanan vaksin dengan melibatkan populasi yang lebih beragam dan jangka waktu yang lebih panjang.

Setelah uji klinis fase III selesai maka dibuat surat permohonan izin edar vaksin tersebut kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan melengkapi seluruh persyaratan.

Begitu vaksin beredar di masyarakat, vaksin akan terus menerus diamati, baik terkait potensi, keamanan dan kemungkinan terjadinya kejadian medis yang tidak diinginkan.


Kemandirian vaksin

Dalam menghadapi pandemi COVID-19, Indonesia berupaya untuk mendapatkan vaksin dengan dua cara, yakni mengembangkan vaksin secara mandiri dan bekerja sama dengan pihak luar negeri.

Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan ada tiga platform pengembangan vaksin yang diupayakan Indonesia, yakni vaksin protein rekombinan, vaksin DNA atau mRNA dan vaksin yang dilemahkan atau dimatikan.

Menristek tidak ingin Indonesia hanya menjadi lahan uji klinis atau pasar vaksin, sehingga harus ada kemandirian bangsa melalui pengembangan vaksin Merah Putih berbasis protein rekombinan.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman sedari awal sudah fokus dan memimpin di pengembangan vaksin untuk platform protein rekombinan.

Sementara pengembangan vaksin dari virus dilemahkan akan dilakukan melalui kerja sama PT Biofarma dan perusahaan biofarmasi asal China, Sinovac Biotech Ltd.

Calon vaksin dari China itu telah tiba di Indonesia pada Minggu (19/7), dan rencananya akan diuji klinis tahap III di Bandung pada Agustus 2020.

Kemudian, Kalbe Farma dan Korea Selatan serta peneliti Indonesia akan bekerja sama untuk vaksin mRNA.

Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan progres pengembangan vaksin Merah Putih adalah sekitar 20-30 persen.

"Protein itu kita sintetis,
 artinya kita bikin di laboratorium dengan teknik kloning berdasarkan informasi dari virus yang ada di Indonesia," kata Amin.

Progres 20-30 persen bersifat krusial karena merupakan pondasi dari pengembangan vaksin protein rekombinan.

Eijkman menargetkan bibit vaksin potensial didapat pada 2021 atau dalam waktu kurang lebih 12 bulan sejak pertengahan Maret 2020.

"Insya Allah Eijkman bisa menyelesaikan tugas Eijkman dalam waktu kurang dari 12 bulan, setelah itu akan diteruskan oleh industri," ujarnya.

Eijkman terus melakukan pengurutan genom virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 untuk mengidentifikasi virus yang bersirkulasi di Indonesia karena vaksin Merah Putih yang dikembangkan akan spesifik berdasarkan informasi virus yang ada di Indonesia.

Baca juga: Selain China, Indonesia kembangkan vaksin COVID-19 bersama Korsel

Protein rekombinan itu akan diujikan pada hewan dengan cara disuntikkan pada hewan berukuran kecil dan hewan berukuran besar. Dari proses itu, akan dilihat apakah protein rekombinan itu bisa merangsang respons imun tubuh.

Jika hasilnya sudah bagus, maka Eijkman akan menyerahkan bibit vaksin itu kepada industri untuk dilakukan pengembangan lebih lanjut.

"Eijkman sampai laboratorium 'scale' (skala). Artinya kita hanya menghasilkan bibit vaksin saja. Proses selanjutnya diteruskan oleh industri," ujarnya.

Eijkman menganggap saat ini vaksin protein rekombinan paling aman dan dapat diandalkan karena bukan bersifat virus yang dilemahkan atau dimatikan.

Amin menuturkan pada vaksin dengan virus yang dilemahkan atau dimatikan, maka harus melakukan pembiakan virus dalam jumlah besar, dan itu dinilai mengandung risiko yang cukup tinggi, seperti risiko kontaminasi dan kebocoran karena virus hidup harus dikembangbiakkan dulu baru kemudian dimatikan atau dilemahkan.

Baca juga: Menanti kabar gembira uji klinis Vaksin Sinovac di Indonesia

Sementara vaksin DNA/RNA memiliki kelemahan karena membutuhkan sistem pengantaran. Artinya DNA/RNA harus dipastikan bisa masuk ke dalam sel sehingga sel menghasilkan protein antigen, yang kemudian merangsang sistem kekebalan tubuh adaptif untuk menghasilkan antibodi terhadap patogen.

"Kalau dia tidak berhasil masuk ke dalam sel walaupun sudah disuntikkan maka tidak terjadi apa-apa," ujar Amin.
Baca juga: WHO: penggunaan vaksin pertama COVID-19 belum bisa di awal 2021

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020