Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai permasalahan pendidikan jarak jauh (PJJ) tidak hanya ketersediaan jaringan internet tapi juga kepemilikan gawai.Kebijakan negara sangat segera dibutuhkan untuk mengintervensi PJJ tersebut.
"Persoalan hambatan selama PJJ tak hanya keterbatasan terhadap akses internet dan listrik tetapi juga pada kepemilikan gawai pintar," ujar Wakil Sekretaris Jenderal FSGI, Satriwan Salim, di Jakarta, Kamis.
Permasalahan itu tidak hanya di daerah, bahkan juga terjadi di Jabodetabek. Laporan PJJ fase II atau pada semester awal tahun ajaran baru 2020/2021 masih banyak siswa tidak memiliki gawai pintar secara pribadi.
"Dalam satu keluarga hanya punya gawai satu, itupun dipegang ortu. Alhasil tidak bisa ikut pembelajaran daring bersama teman di siang hari," kata dia.
Baca juga: KPAI dorong sekolah untuk petakan kendala siswa saat ikuti PJJ daring
Setidaknya, terdapat 46.000 lebih sekolah yang tidak dapat merasakan PJJ daring tersebut. Hal itu terjadi pada mayoritas di daerah2 pelosok, pegunungan, khususnya di daerah tertinggal, terluar dan terdepan (3T).
Keterbatasan terhadap akses internet, listrik, tidak punya gawai membuat pembelajaran dilakukan dengan metode guru berkunjung ke rumah siswa atau luring. Akan tetapi metode itu tidak efektif, sebab jumlah guru tak memadai jika harus melayani semua siswa.
"Guru yang terbatas, waktu sangat terbatas, bahkan acap kali guru tak bisa berkunjung karena faktor geografis jauhnya rumah siswa di pegunungan yg sulit ditempuh guru. Seperti yang terjadi di Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Bima, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Ngada, Kabupaten Alor, Kabupaten Timur Tengah Utara, Kabupaten Timur Tengah Selatan, dan lainnya," terang dia.
Baca juga: Kemendikbud apresiasi platform pendidikan jarak jauh
Oleh karena itu, FSGI meminta Kemendikbud mendata jumlah siswa dan guru yang tidak mempunyai gawai pintar tersebut, tidak punya akses terhadap internet, dan terkendala selama PJJ.
Kebijakan negara sangat segera dibutuhkan untuk mengintervensi PJJ tersebut.
"Jika dibiarkan berlarut-larut, maka disparitas kesenjangan kualitas pembelajaran dan pendidikan kita makin timpang, makin besar, antara siswa yg PJJ luring dengan siswa PJJ daring. Kewajiban pemerintah memperpendek ketimpanganan kualitas pendidikan tersebut," imbuh dia.
Sementara untuk PJJ daring juga tidak dimiliki semua siswa karena ketiadaan akses. Metode itu juga lebih baik jika memiliki akses yang memadai. Sumber pembelajaran lebih variatif, metode yg dipilih juga demikian. Sebab guru bisa belajar dan dilatih secara online juga.
Baca juga: Kemenkes: PJJ selama pandemi banyak pengaruhi kesehatan jiwa anak
"Persoalannya, tidak semua siswa punya gawai pintar, ada kenaikan pengeluaran rumah tangga karena harus membeli kuota internet yang ekstra, relaksasi dana BOS untuk mensusidi siswa tidak mencukupi, bahkan masih ada Kepsek yang belum alokasikan BOS untuk kuota siswa," jelas dia.
Kompetensi guru dalam mengelola PJJ Daring, yang basis utamanya adalah perangkat digital juga terbatas. Oleh karenanya perlu pendampingan, pelatihan bagi guru-guru oleh Pemda dalam mengelola PJJ daring.
FSGI melihat selama pandemi, terjadi peningkatan partisipasi guru dalam mengikuti pelatihan-pelatihan pembelajaran secara daring yang dikelola Pemda.
"Ada antusiasme guru-guru belajar mengelola pembelajaran daring berbasis digital.
Di sisi lain, FSGI menilai koordinasi lintas kementerian dan lembaga antara Pemerintah Pusat dan Daerah belum banyak terasa dalam menyelesaikan persoalan PJJ khususnya bagi yang luring," terang dia.
Baca juga: FSGI sebut dana Organisasi Penggerak lebih baik untuk bantu PJJ
Pewarta: Indriani
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020