• Beranda
  • Berita
  • Peneliti sebut transaksi digital perlu akses dan perlindungan konsumen

Peneliti sebut transaksi digital perlu akses dan perlindungan konsumen

23 Juli 2020 22:48 WIB
Peneliti sebut transaksi digital perlu akses dan perlindungan konsumen
Nasabah memperlihatkan layanan transaksi digital berbasis QR Code yang diluncurkan Bank DKI dalam rangka menyasar peluang pasar kaum milenial Jakarta. (ANTARA/HO-Bank DKI)
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan peningkatan transaksi ekonomi digital membutuhkan perluasan akses teknologi informasi dan komunikasi serta perlindungan konsumen yang memadai.

Ira dalam pernyataan di Jakarta, Kamis, mengatakan dua hal tersebut sangat penting mengingat ekonomi berbasis internet di Indonesia saat ini sedang berkembang dengan potensi mencapai 40 miliar dolar AS atau 3,57 persen PDB Indonesia.

Ia menjelaskan perluasan infrastruktur jaringan informasi dan komunikasi merupakan kewajiban untuk mendukung transaksi ekonomi digital karena jumlah pengguna internet makin meningkat dan masih terjadi ketimpangan digital di Indonesia.

"Pemerintah perlu memperhatikan proporsi mereka yang tergolong sulit mendapatkan akses internet, baik itu latar belakang ekonominya hingga sebaran daerah yang rendah konektivitas internetnya," kata Ira.

Ia memastikan melalui jaringan internet yang baik hingga ke pelosok desa maka percepatan inklusi keuangan yang didorong secara digital dapat meningkatkan kinerja PDB hingga tumbuh pada kisaran dua hingga tiga persen.

Selain itu, penguatan perlindungan konsumen maupun data transaksi juga perlu dilakukan melalui revisi UU Perlindungan Konsumen dan legislasi RUU Perlindungan Data Pribadi agar konsumen tidak ragu untuk bertransaksi secara langsung atau melalui daring.

Saat ini, dalam UU Perlindungan Konsumen tidak diakui adanya peran pihak ketiga, padahal pihak perantara dalam perdagangan berbasis jaringan (e-commerce) sangat penting untuk menengahi sengketa dan memfasilitasi ganti rugi antara pelaku usaha dan konsumen.

Selain mengakui pihak ketiga, revisi UU ini juga perlu mengevaluasi penjualan kembali secara online, penggunaan internet, aturan pengumpulan data, ketentuan yang adil untuk kontrak digital, transaksi konsumen dengan konsumen, transaksi lintas negara dan transaksi produk digital seperti perangkat lunak dan media.

Ira mengharapkan proses pengajuan draf revisi UU tersebut maupun konsultasi dalam perancangan regulasi dapat mengikuti panduan internasional dan regional serta praktik terbaik yang sudah berlaku dari ASEAN dan mitra global lainnya.

"Revisi UU harus diselesaikan secepat mungkin agar dapat menjawab pertumbuhan ekonomi digital yang telah melampaui kemampuan kapasitas pemerintah dan desakan masalah yang muncul dari adanya celah hukum dan non-hukum," katanya.

Sementara itu, persetujuan atas RUU Perlindungan Data Pribadi juga penting karena masih ada peraturan yang tumpang tindih dan lemahnya koordinasi antar lembaga yang belum mampu melindungi konsumen dari tindakan fraud.

Lemahnya kerangka kebijakan dan implementasi perlindungan data pribadi itu membuat konsumen sangat bergantung pada tindakan bisnis bertanggung jawab (responsible business conduct) yang dilakukan secara mandiri (self-regulatory).

Untuk itu, menurut dia, RUU Perlindungan Data Pribadi harus ditetapkan dengan standar yang tinggi agar mampu mengakomodasi perlindungan data dalam kondisi yang bisa memastikan persetujuan pengguna, keamanan data, dan transparansi.

"Perlindungan Personally Identifiable Information (PII), seperti nama, detail kontak, dan tanggal lahir juga perlu ditekankan dalam RUU ini. Perlindungan data lainnya perlu direkonsiliasi dengan penggunaan data resmi untuk mendorong inovasi dan pengembangan bisnis," kata Ira.


 

Pewarta: Satyagraha
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020