Pada bulan Februari 2020, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengumumkan bahwa, Pulau Timor bagian barat positif terserang virus demam babi Afrika atau African Swine Fever (ASF).Solusinya hanya berupa pencegahan saja
Saat itu juga, pemerintah langsung membentuk tim khusus untuk melakukan pencegahan, agar tidak menyebar ke daerah lain di provinsi berbasis kepulauan itu.
Namun, kini sebaran virus tersebut terus meluas dalam empat bulan terakhir ini, dan sudah menyebar ke pulau-pulau seperti Alor dan Pulau Flores bagian tengah.
Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur, mencatat hingga Juni 2020, sebanyak 24.822 ternak babi milik warga di wilayah itu mati akibat terkena virus flu babi Afrika (ASF).
Puluhan ribu ternak babi yang mati itu tersebar di 11 kabupaten dan satu kota, serta sebuah instalasi peternakan di Tarus, Kabupaten Kupang, kata Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Dinas Peternakan NTT, Artati Loasana.
"Ternak babi yang mati itu kami hitung dari awal bulan Januari hingga Juni. Sedangkan untuk bulan Juli ini kami masih tunggu laporan dari Dinas Peternakan kabupaten/kota," Artarti.
Dia mengatakan, penyebaran virus AFS ini berawal dari Pulau Timor sejak Februari lalu.
Sejumlah petugas terkait telah berupaya menghentikan penyebaran virus tersebut, tapi saat ini telah menyebar ke sejumlah pulau besar lainnya di NTT seperti Flores dan Sumba.
Kini, pihaknya terus berupaya untuk mengatasi penyebaran virus tersebut dengan meningkatkan koordinasi dengan Dinas Peternakan di sejumlah kabupaten di NTT.
Isolasi ternak
Menteri Pertanian Syahril Yasin Limpo mengatakan, untuk mengatasi serangan virus ASF, pemerintah tidak merekomendasikan untuk melakukan pemusnahan massal. Hanya dengan melakukan isolasi maka virus ASF ini bisa diatasi.
Dia mengatakan, kepala daerah di NTT yang daerahnya terkena kasus serangan virus ASF perlu melakukan pengawasan secara ketat terhadap lalulintas ternak babi, sehingga virus ASF tidak menular ke ternak babi di wilayah lain.
"Mengisolasi secara ketat terhadap daerah tertentu maka serangan virus ASF yang menyerang ribuan ternak babi di NTT dapat diatasi dengan cepat," kata Syahril Yasin Limpo.
Pengamat peternakan dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr Ir Johanis Ly MSc mengatakan, pemerintah perlu mengambil langkah serius dalam mengatasi serangan virus Afrika atau African Swine Fever (ASF) yang telah menyebabkan puluhan ribu ekor ternak babi mati.
"Solusinya hanya berupa pencegahan saja, dan ini harus dilakukan secara serius karena belum ada vaksin," kata pengajar pada Fakultas Peternakan Undana Kupang itu.
Baca juga: Karantina Lampung perketat pengawasan lalu lintas ternak babi
Baca juga: Ribuan ternak babi di TTS mati terserang virus ASF
Johanis Ly mengatakan, pemerintah bisa mengambil langkah-langkah pencegahan dengan memperketat biosecurity di kandang, terutama peternak yang belum terkena dan terduga virus ASF.
"Pemerintah bisa mengimbau peternak dan pelaku pasar untuk melakukan hal ini sebagai tindakan pencegahan," katanya.
Selain itu, pengumpul atau pedagang yang selalu berjalan mengelilingi kandang mencari ternak babi perlu dibekali pengetahuan tentang masalah virus ini, bila perlu dilarang dan polisi pamong praja bisa berperan untuk tindakan ini.
Menurut dia, pengumpul atau pedagang dapat menjadi media yang mempercepat penyebaran virus ini dari satu lokasi ke lokasi lain.
Hal lain yang perlu dilakukan pemerintah adalah para pemilik modal atau pemilik restoran yang memesan babi juga harus dibekali pengetahuan tentang serangan virus ini, sehingga restoran juga tidak ikut berperan sebagai media penyebar virus ini.
Lalu lintas
Dia menambahkan upaya lain yang dapat dilakukan adalah memperketat lalu lintas ternak antar kandang dan peternak.
Menurut dia, BPOM perlu diberi tambahan tugas untuk mengawasi lalu lintas ternak, bila perlu memeriksa kebersihan daging babi di pasar dan di rumah-rumah makan untuk memastikan bahwa daging yang dijual di rumah makan itu bebas dari virus ASF.
"Kalau dapat, pemerintah bisa buatkan aturan bahwa ternak yang boleh dijual hanya daging babi yang sehat, sehingga pedagang hanya boleh menerima babi yang sehat saja," katanya.
Aturan tersebut, sekaligus melarang penjualan daging yang berkeliaran, apalagi menjual daging yang tidak aman karena dapat menjadi media penyebaran virus yang paling cepat.
Karena virus ASF bukan saja menyebar melalui ternak dan daging babi, tetapi juga melalui orang yang melewati daging babi atau makan daging babi yang tercemar tetapi tidak dimasak dengan baik, demikian Johanis Ly.
Enggan beternak
Penyebaran virus yang semakin masif ini menyebabkan sebagian peternak di Pulau Timor masih enggan membuka kembali usaha ternak babi, karena takut terserang virus seperti yang terjadi sebelumnya.
"Saya belum berpikir untuk beternak babi, karena belum mendengar informasi mengenai vaksin untuk virus ini. Kalau sudah ada vaksin baru mulai kembangkan lagi," kata Martinus Suban.
Baca juga: Kementan-Kemenkes bersinergi, waspadai virus flu babi baru
Baca juga: Flu babi, Kementan mitigasi risiko lalu lintas hewan sejak Maret 2020
Dia mengatakan, sejak 14 ekor ternak babinya mati secara mendadak dalam sepekan pada Maret 2020 lalu, dirinya masih trauma untuk memulai usaha lagi.
Populasi ternak babi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga Juni 2018 tercatat sekitar 2 juta lebih ekor. Catatan tersebut menjadi yang tertinggi di Indonesia.
"Ternak babi menjadi fokus pengembangan di NTT karena daging babi paling banyak dikonsumsi (40,1 persen)," kata Senior Business Consultan Portfolio IV-Prisma, Gracia Christie Napitupulu.
Prisma merupakan program multi-tahun di bawah Australia-Indonesia Partnership for Rural Economic Develoment (AIP-Rural). Program tersebut dimulai sejak 2013 di lima provinsi di Indonesia, yakni Jawa Timur, NTB, NTT, Papua dan Papua Barat.
Menurut Christie, NTT menyumbang 10,2 persen dari total produksi daging babi di Indonesia. Rata-rata satu rumah tangga memiliki dua ekor babi sehingga menjadi provinsi ternak babi terbesar di Indonesia.
Dia memperkirakan, ada 900.000 rumah tangga sebagai peternak babi karena didorong oleh setiap urusan budaya dan agama yang membutuhkan daging babi.
Di provinsi berbasis kepulauan NTT itu, peternakan babi juga melibatkan tenaga kerja wanita.
Namun, kondisi riil di NTT menunjukkan bahwa para peternak berpendapatan rendah akibat produktivitas rendah, karena kualitas bibit rendah serta kualitas pakan juga rendah.
Selain itu, pengetahuan terkait kesehatan hewan masih sangat terbatas dan keterbatasan pula pada teknik beternak yang baik, sehingga ketika ada serangan penyakit, para petani tidak berdaya.
Virus ASF pertama kali menyerang ternak babi di Sumatera Utara dan Bali, kemudian Timor Leste pada Agustus 2019. Virus flu babi afrika ini masuk ke wilayah NTT sejak Februari 2020.
Kini, serangan virus ASF telah menebarkan ancaman serius bagi petani peternak babi di seantero NTT, dan menjadi ancaman serius bagi populasi ternak bagi di daerah itu.
Semua kita, terutama peternak yang menggantungkan hidup pada usaha beternak babi tentu sangat berharap, upaya-upaya yang tengah dilakukan pemerintah mulai tingkat provinsi hingga kabupaten, dapat mencegah meluasnya serangan virus ini ke seluruh wilayah di NTT.
Baca juga: Pemkot Batam kontrol kesehatan babi di Pulau Bulan
Baca juga: Sikka batasi lalu lintas ternak babi cegah meluasnya serangan ASF
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020