Rencana PT Pertamina (Persero) melakukan penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) anak usaha hulu dinilai perlu dikaji ulang karena akan menurunkan status Pertamina sebagai penyelenggara kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang diatur dalam UU Migas No.22/2001 maupun UU BUMN No.19/2003.
“Rencana IPO perlu dikaji ulang karena Pertamina di hulu saat ini lemah dibanding perusahaan energi terbuka di negara lain seperti Petronas, Saudi Aramco, dan Abu Dhabi National Oil Company,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Menurut Komaidi, sejumlah perusahaan energi terbuka di sejumlah negara hak penguasaan mineralnya masih melekat pada negara yang dalam hal ini diwakili pemerintah, sementara posisi Pertamina tidak berbeda dengan kontraktor migas pada umumnya.
"Posisi Pertamina di sini sejalan dengan production sharing contract (PSC) itu sendiri. Ini perlu diperjelas kajiannya, karena berkaitan dengan kapitalisasi pasar nanti. Valuasinya berapa cara menghitungnya di saat IPO nanti," ujar Komaidi.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan bahwa program restrukturisasi yang dilakukan terhadap perseroan dan rencana IPO subholding tidak melanggar undang-undang yang berlaku. Dua kebijakan tersebut justru akan membuat Pertamina semakin kuat dan besar, bahkan bisa melampaui perusahaan migas kelas dunia.
“Restrukturisasi dan rencana IPO merupakan cara bagi Pertamina untuk mempertahankan bisnis jangka panjang, untuk terus tumbuh secara berkelanjutan,” kata Nicke.
Baca juga: Pertamina-Kimia Farma kerja sama tekan impor bahan baku farmasi
Menurut dia, Pertamina sudah melakukan perbandingan dengan perusahaan energi global dalam melakukan restrukturisasi perusahaan.
Dasar Pertamina melakukan perencanaan strategis, yaitu memperoleh pendapatan yang berulang, investasi atau pengembangan untuk menciptakan pendapatan baru, sedangkan dalam pertumbuhan jangka panjang dan berkelanjutan ditujukan untuk pendapatan di masa datang.
Terdapat tiga dasar hukum yang melandasi kegiatan restrukturisasi Holding-subholding dan rencana IPO subholding, yakni pasal 33 UUD 1945, UU Migas No 22/2001 maupun UU BUMN No 19/2003. Pada UU 1945 Pasal 33, mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa dikuasai oleh negara dapat mengadalan kebijakan dan tindakan penguasaan, pengaturan, pengeolaan dan pengawasan untuk tujan kemakmuran rakyat.
Pada UU Migas, tidak mengatur larangan atau membatasi subholding yang bergerak di bidang hulu dan hilir migas untuk melaksanakan kegiatan IPO.
Sementara pada UU BUMN, sepanjang retrukturisasi tidak melibatkan perubahan kepemilikan saham negara dalam Pertamina dan IPO dilakukan pada subholding dimana negara tidak memiliki saham didalamnya, maka restrukturisasi bukan merupakan privatisasi.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Profesor Hikmahanto Juwana, mengatakan restrukturisasi Pertamina bukan berarti menjual aset perusahaan.
“Tolong dibedakan antara Pertamina dulu berdasarkan Undang-Undang 8 tahun 1971, dengan Pertamina sekarang. Kalau dulu Pertamina pegang cadangan migas, sekarang ini operator, bisnis,” ujarnya.
Menurut Hikmahanto, cadangan negara itu sekarang sudah dipegang negara bukan oleh Pertamina. “Negara yang memegang, lalu pemerintah yang melelang. Dulu Pertamina bertandatangan atas nama negara. Kalau sekarang, Pertamina tandat angan atas nama dia sebagai operator," kata Hikmahanto.
Baca juga: Pertamina targetkan produksi "green avtur" akhir 2020
Pertamina, lanjutnya, sudah ditunjuk sebagai holding untuk minyak dan gas bumi. Perusahaan punya banyak opsi untuk datangkan dana segar seperti obligasi, IPO, pinjaman perbankan dan lainnya.
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020