• Beranda
  • Berita
  • Anggota DPR soroti penyebab munculnya dinasti politik dalam pilkada

Anggota DPR soroti penyebab munculnya dinasti politik dalam pilkada

28 Juli 2020 20:29 WIB
Anggota DPR soroti penyebab munculnya dinasti politik dalam pilkada
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa. ANTARA/HO-partainasdem.id

Perlu dipikirkan UU Pilkada yang ramah bagi calon kepala daerah yang punya rekam jejak dan pengalaman politik memadai, kapasitas, dan komitmen terhadap demokrasi.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa menyoroti penyebab munculnya dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), salah satunya adalah rekrutmen di internal partai politik.

"Parpol dalam menjalankan fungsi rekrutmen politik di eksekutif maupun legislatif berpengaruh pada muncul atau tidaknya dinasti politik," kata Saan dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk "UU Pilkada dan Kekhawatiran Menguatnya Dinasti Politik" di kompleks DPR RI, Jakarta, Selasa.

Menurut dia, ke depannya rekrutmen yang dilakukan parpol menjadi bagian penting yang harus dipikirkan secara bersama-sama.

Baca juga: Presiden Jokowi bantah langgengkan dinasti politik

Baca juga: Hasto sebut tudingan politik dinasti untuk Gibran tak mendasar

Sekretaris Fraksi Partai NasDem DPR RI itu menilai sistem rekrutmen di parpol minimal tidak mengabaikan apa yang disebut sebagai sistem kompetensi dari seseorang untuk menduduki posisi di legislatif maupun eksekutif.

"Misalnya, terkait rekam jejak yang bersangkutan di politik, isitilahnya tidak langsung seketika (menduduki posisi di legislatif dan eksekutif), tetapi memiliki rekam jejak politik," ujarnya.

Kedua, lanjut dia, terkait dengan aturan dalam UU Pilkada, proses seorang calon kepala daerah mendapatkan dukungan minimal 20 persen suara di daerah.

Dalam satu daerah, ada satu dua partai yang hanya mendapatkan satu kursi. Distribusi perolehan kursi di DPRD itu, kata Saan, terkadang menyulitkan bagi calon kepala daerah mendapatkan dukungan karena terlalu banyak partai.

Di suatu daerah jumlah kursi DPRD sebanyak 50 kursi, misalnya. Calon kepada daerah harus mendapatkan 20 persen kursi untuk mendukung maju dalam pilkada.

Baca juga: Tanggapan Gibran soal tuduhan politik dinasti

"Karena angka 20 persen dari 50 kursi adalah 10 kursi, tidak ada satu pun partai yang bisa mencalonkan sendirian karena distribusinya begitu banyak sehingga mereka kesulitan mendapatkan dukungan," ujarnya.

Untuk mendapatkan dukungan itu, kata Saan, selain prosesnya rumit karena harus mendatangi semua partai untuk mencukupinya, terkadang ada biaya mahal karena ada "pasar gelap" sebelum mendapatkan dukungan dari sebuah partai.

Saan menjelaskan "pasar gelap" itu adalah cara seorang untuk mendapatkan dukungan. Hal itu tidak diatur dalam UU sehingga tidak aneh kalau banyak konglomerasi dalam proses memperoleh dukungan tersebut.

"Dalam dukungan itu ada istilah konglomerasi juga yang mendorong semua partai agar sebisa mungkin calon tunggal atau hanya dua pasang calon," katanya.

Ia mengemukakan bahwa kerumitan-kerumitan yang ada di UU Pilkada terkait dengan dukungan itu terkadang menghambat bagi munculnya calon-calon kepala daerah yang memiliki kualifikasi yang memadai untuk menjadi kepala daerah.

Baca juga: Pengamat sarankan Partai Demokrat tak terjebak politik dinasti

Bahkan, menurut dia, calon-calon kepala daerah yang merupakan kader murni partai terkadang mengalami kerumitan untuk memperoleh dukungan karena rumitnya proses tersebut.

"Ke depan perlu dipikirkan UU Pilkada yang ramah bagi calon kepala daerah yang punya rekam jejak dan pengalaman politik memadai, kapasitas, dan komitmen terhadap demokrasi," ujarnya.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020