Dari udara bisa terlihat sebuah hutan lindung gambut seluas 173.00 hektare yang masih perawan karena belum terjamah manusia sedang mengalami deforestasi akibat muculnya kanal-kanal liar yang menguras cadangan air.
Kanal itu sebagian merupakan peninggalkan para pengelola HPH dan sebagian lagi merupakan jalur ilegal logging karena kayu akan mudah dibawa melalui kanal-kanal itu ke Sungai Kampar.
Bersama Manager Suistaninable PT RAPP PT Riau Andalan Puplp & Paper (RAPP) Brad Sanders, wartawan diajak berkeliling lebih dari satu jam melihat kanal-kanal liar, serta aktivitas perambahan hutan yang menyisakan berkas hitam, akibat pembakaran ladang.
"Ada 100 kanal dengan total panjang 2.000 kilometer di semenanjung itu yang bisa menguras air di sana dan memunculkan potensi oksidasi carbon. Kita berusaha mencegah itu dan terjadi," katanya.
Ia menjelaskan, kanal-kanal itu menyebabkan muka air dalam tanah di semenanjung itu semakin dalam sehingga lapisan gambut di atasnya menjadi kering dan akar tanaman hutan akan semakin sulit mengejar air.
"Semenanjung seluas 400.000 hektar itu menyumbang 10 sampai 12 juta emisi karbon per tahun dan bisa dikurangi jika muka air dalam tanah bisa diatur dengan kanal bertingkat," katanya.
Menurut dia, apa yang dilakukan RAPP di Teluk Meranti adalah mulai menata sistem kanal itu dan menutup kanal-kanal lama supaya "level air" di lapisan gambut tetap terjaga dan kawasan lindung di tengah-tengah semanjung itu tidak kekurangan air.
"Jadi alat berat yang disandera aktivis Greenpeace itu sebenarnya sedang membuat kanal pengatur level air dan jalan masuk ke areal HTI kami," katanya.
Rusaknya hutan di Semenanjung Kampar itu juga mengancam keberadaan satwa yang dilindungi di sana seperti Harimau, Elang, Jalak, Buaya dan sejumlah jenis ular.
Dari udara, juga terlihat Hutan Lindung Kerumutan yang berada di seberang Semenanjung Kampar mengalami hal serupa karena terdesak oleh aktifitas perambah hutan, bahkan kondisinya lebih parah karena para perambah sudah berada di sisi Hutan Lindung itu.
Dihentikan
Akibat aksi Greenpeace itu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, kemudian memerintahkan segala aktifitas RAPP di Teluk Meranti itu dihentikan Sabtu (21/11) lalu, termasuk pembuatan kanal pengatur ketinggian air di lahan gambut itu.
Belasan ekskavator sudah menarik diri dari lokasi proyek dan menunggu pengangkutan di sisi Sungai Kampar.
Sekitar empat ekskavator akhirnya hanya menutup kanal liar di dekat bibir Sungai Kampar, supaya air dari Semenanjung Kampar tidak terbuang percuma ke sungai, namun puluhan kanal lain selebar dua sampai tiga meter masih dibiarkan menguras air.
"Kami hentikan kegiatan setelah perintah lisan dari Menteri Kehutanan melalui media massa. Alat berat masih di lokasi menunggu untuk ditarik," kata Corporate Comunication PT RAPP Virgilio Jose (VJ) Ramos di Teluk Meranti yang ditemui, Rabu (25/11).
Ia mengaku belum ada surat resmi penghentian aktifitas RAPP di Teluk Meranti. "Saya sudah tanya Dinas Kehutanan Riau dan mereka juga belum mendapat SK itu, tetapi kami tetap mematuhi kalau memang harus dihentikan," katanya.
Dampak penghentikan itu sudah jelas karena cadangan air di hutan gambut itu akan terkuras. Jika itu terjadi tidak hanya mengancam tanaman milik RAPP yang akan di semenanjung itu tetapi juga tanaman yang ada di hutan lindung gambut. Kali ini memang musim penghujan sehingga kehilangan air di tanah gambut akan bisa tergantikan dengan air hujan, tetapi jika musim kemarau tiba maka lapisan gambut yang kering dan tersengat matahari akan menyumbang emisi karbon dunia.
"Luas seluruh Semenanjung Kampar itu 400.000 hektar dan selama ini menyumbang 10 sampai 12 juta emisi karbon per tahun. Emisi karbon itu dikurangi menjadi setengahnya jika `level air" dalam tanah bisa diatur dengan pembuatan kanal bertingkat," katanya.
Berlebihan
Menurut dia, kekhawatiran sejumlah LSM akan dampak kerusakan Semanjung Kampar oleh aktifitas RAPP dinilai terlalu berlebihan karena RAPP telah mendapat sertifikat hijau atau Green Proper untuk ketiga kalinya sejak tahun 2004, dan mendapat sejumlah sertifikat pengelolaan lingkungan seperti ISO 14001, Legal Wood Tracking of Wood Supply dari SGS dan WWF, serta sertifikat LEI untuk manajemen kehutanan berkelanjutan.
"Kami juga terbuka dengan kritik, sehingga kami juga siap melakukan dialog dengan siapapun termasuk dengan aktivis Greenpeace. Kami tak perlu takut karena apa yang usahakan tidak merusak lingkungan," katanya.
Ia mengungkapkan, sistem yang dibuat bisa mendeteksi jangan sampai kayu yang masuk pabrik adalah kayu hasil tebangan ilegal.
"Pernah ada truk yang membawa kayu ilegal mencoba naik kapal ponton milik kami, petugas kami melarang sampai akhirnya tewas karena dikeroyok mereka, " katanya.
Menurut dia, perusahaan secara aktif membantu pemadaman kebakaran hutan dan mengajak masyarakat untuk tidak melakukan pembakaran ladang.
Dari total konsesi RAPP di Riau seluas 240.000 hektare, menurut Ramos, sekitar 25 persen digunakan untuk konservasi sementara sisanya untuk non-konservasi termasuk ada 5.300 hektar untuk tanaman kehidupan yang dipersiapkan untuk dikelola masyarakat sekitar hutan.
"Semua pengolahan lahan di konsesi kami dilarang menggunakan sistem membakar lahan, termasuk juga 9.000 mitra kami yang bekerjasama dalam Hutan Tanaman Rakyat seluas 54.000 hektare," katanya.
Menurut dia, sejak mulai tahun 1993 sampai saat ini jumlah investasi RAPP sudah mencapai Rp50 triliun mempekerjakan 4.000 karyawan dan melibatkan 20.000 tenaga kerja dari kontraktor.
"Jadi tetap berupaya agar pengelolaan ini bekelanjutan. Tidak mungkin kami rusak hutan karena darimana kami nantinya dapat kayu untuk kebutuhan pabrik," tegasnya.
Saat ini sudah ada tiga lokasi pembibitan tanaman yang dibangun RAPP dengan kapasitas 100 juta bibit per tahun dan pihaknya berharap masyarakat bisa ikut sejahtera dengan kehadiran RAPP ini.
Belum Tahu
Sangat disayangkan informasi tentang pengelolaan sistem hidrologi di Semenanjung Kampar dan berbagai rencana program bina lingkungan belum banyak sampai ke telinga masyarakat sehingga keberadaan RAPP yang baru membuka lahan di Teluk Meranti, September 2009 lalu dianggap negatif.
RAPP sudah dicap sebagai perambah kelas kakap apalagi kehadiran belasan ekskavator yang tidak hanya membuat kanal tetapi juga menebangi hutan 100 meter di kanan dan kiri kanal itu.
Walau kemudian areal tebangan itu ditanami akacia crassicarpa, namun tumbangnya pohon besar tanpa sosialiasi secara merata termasuk kepada LSM dan media massa membuat opini yang terbangun menjadi lebih banyak negatif.
Baliho besar di dekat dermaga umum Teluk Meranti yang menggambarkan pembagian areal RAPP mulai hutan lindung sampai kawasan pohon kehidupan untuk masyarakat tidak bisa memberikan penjelasan lebih detil.
Sejumlah warga di Teluk Meranti mengaku mereka tidak tahu apakah kehadiran RAPP akan memberikan dampak positif bagi kelestarian Semenanjung Kampar serta kehidupan mereka.
"Saya belum tahu tentang lahan di pinggiran Sungai Kampar yang katanya akan dibagikan untuk kami olah. Kami hanya berharap mereka (RAPP) bisa dapat untung, kami juga harus bisa menikmati," kata Ridwan Sijung (50) salah satu tokoh masyarakat di Teluk Meranti.
Sufrizal, pemuda yang sudah merasakan Pelatihan Pertanian Terpadu dari RAPP juga mengakui mereka masih curiga RAPP tidak menjalankan usaha dengan konsep berkelanjutan karena selama ini HPH yang diberikan Pemerintah di Semanjung Kampar selalu merusak hutan.
"Saya sudah dengar rencana RAPP yang juga ingin ikut melestarikan hutan dan mensejahterakan masyarakat. Saya harap itu tidak hanya sekedar janji tanpa realisasi," katanya.(*)
Pewarta: Budhi Santoso
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009