Evaluasi KPAI terkait PPDB 2020

5 Agustus 2020 14:45 WIB
Evaluasi KPAI terkait PPDB 2020
Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti berbicara dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) secara daring yang membahas hasil pengawasan dan pengaduan PPDB 2020, dari Jakarta, Rabu (5/8/2020). (ANTARA/Katriana)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 224 pengaduan yang terkait dengan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2020-2021.

"Pengaduan PPDB 2020 ini terjadi peningkatan. Karena tahun lalu kami menerima 95 pengaduan dari 37 wilayah. Kali ini, kami menerima pengaduan memang jumlahnya meningkat tajam, yaitu 224 pengaduan dibanding tahun lalu yang 95," kata Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) secara daring yang membahas hasil pengawasan dan pengaduan PPDB 2020, di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan bahwa total 224 pengaduan tersebut terdiri dari 200 kasus atau setara dengan 89 persen pengaduan yang berasal dari DKI Jakarta, 24 kasus atau 11 persen dari Kabupaten Sidoarjo, Pasuruan dan Kota Malang di Jawa Timur masing-masing hanya 1 kasus, Kota Tangerang, Banten, 3 kasus dan Bantul di DIY 1 kasus.

Berikutnya, KPAI juga menerima pengaduan dari Kota Bekasi, Kota Bogor dan Kota Bandung di Jawa Barat masing-masing 5, 2 dan 1 kasus, Kota Semarang, Jawa Tengah, sebanyak 2 kasus, Pekanbaru, Riau 2 kasus, Medan, Sumatera Utara, hanya 1 kasus, Kota Padang di Sumatera Barat 1 kasus, Kabupaten Buleleng di Bali 1 kasus dan Kota Makassar di Sulawesi Selatan juga 1 kasus.

Kemudian, Retno mengatakan bahwa pengadu yang melakukan konsultasi terkait permasalahan PPDB berasal dari berbagai daerah, di antaranya adalah Lampung, Palangkaraya, Kota Surabaya, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bogor.

Berdasarkan jenjang pendidikannya, pengaduan-pengaduan tersebut terdiri dari jenjang SD sebanyak 4 kasus atau 1,8 persen, jenjang SMP sebanyak 72 kasus atau 32,2 persen dan jenjang SMA paling banyak dengan jumlah kasus hingga 148 atau setara 66 persen.

Pengaduan-pengaduan tersebut, kata Retno, didominasi oleh masalah kebijakan dengan jumlah kasus sebanyak 209 atau 95 persen, disusul pengaduan terkait masalah teknis sebanyak 11 kasus atau 5 persen, dan ada juga 3 pengaduan yang terkait kasus dugaan kecurangan dalam PPDB berupa pemalsuan dokumen domisili dan ada 1 kasus dugaan jual beli kursi di jenjang SMA.

Baca juga: Penghapusan parameter nilai PPDB 2020 DKI Jakarta diapresiasi KPAI

Baca juga: KPAI terima 75 pengaduan terkait PPDB 2020



Keberatan orang tua 

Adapun masalah kebijakan yang diadukan di antaranya adalah bahwa pengadu keberatan dengan ketentuan jalur prestasi yang dibuka setelah jalur zonasi dan afirmasi.

Kemudian, ketentuan persentase jalur prestasi, ketentuan penggunaan kriteria usia dan ketentuan domisili yang harus satu tahun sebelumnya berdomisili di daerah tersebut juga masuk dalam salah satu pengaduan.

Ada juga beberapa pengaduan yang terkait dengan dugaan kecurangan pemalsuan dokumen domisili yang berasal dari kota Semarang, Kota Pekanbaru dan Kabupaten Buleleng.

Selain itu, KPAD Tapanuli Utara juga menerima pengaduan masyarakat yang terkait dengan dugaan kecurangan PPDB di salah satu SMA karena tidak adanya petunjuk teknis (juknis) PPDB di kabupaten Tapanuli Utara, kecuali diberikan petunjuk ketentuan PPDB dengan menggunakan parameter jarak, sistemnya juga manual, tidak daring.

"Menurut pengadu, sejak awal pihak sekolah tidak memberitahu adanya parameter nilai dalam zonasi secara resmi. Ada dugaan, penggunaan parameter nilai secara terselubung adalah praktik jual beli kursi. Belakangan kasus ini diselesaikan secara musyawarah," katanya.

Sementara itu, pengaduan-pengaduan yang muncul terkait masalah teknis di antaranya adalah adanya kesulitan login dan calon peserta didik terlambat mendaftar PPDB.

Ada juga kekeliruan mengisi data pendaftar, seperti mengisi asal sekolah, kekeliruan mengisi jalur yang seharusnya jalur regular menjadi jalur afirmasi, kekeliruan mengisi keterangan fisik, menjadi cacat fisik padahal kenyataannya tidak, ada juga kesulitan login yang mengakibatkan anak terlambat didaftarkan.

Kemudian, ada juga orang tua yang tidak paham cara mendaftar PPDB secara daring karena gagap teknologi (gaptek), server PPDB lamban dan verifikasi lambat karena verifikator kesulitan membaca hasil scan data pendaftar yang dikirim ke server.

Baca juga: KPAI dorong pembuatan protokol kesehatan antisipasi aduan PPDB

Baca juga: KPAI terima 15 pengaduan PPDB di tengah pandemi COVID-19



Zonasi vs usia

Adapun pengaduan dari DKI Jakarta sebagian besar berkaitan dengan keberatan atas kriteria usia. Banyak orang tua yang berkeluh kesah kepada KPAI dan menceritakan kesedihan mereka karena anak-anak mereka terpukul secara psikologis karena tidak diterima di semua sekolah negeri pada jalur zonasi karena usianya muda. Padahal rumah mereka sangat dekat dengan sekolah yang dituju.

Sementara itu, Retno juga mencatat kasus di Cipinang Muara yang anaknya tidak diterima di semua SMPN yang menjadi zonasinya karena faktor usia. Padahal di zona dekat tempat tinggalnya itu tersedia 24 sekolah.

Anak pengadu berusia 12 tahun 5 bulan 5 hari saat mendaftar. Dari penjelasan Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang diterima KPAI menyebutkan bahwa anak yang diterima di zonasi SMP Cipinang Muara usia tertua adalah 14 tahun 11 bulan, dan termuda 12 tahun 5 bulan 8 hari.

Sementara usia normal masuk SMP sesuai dengan wajib belajar SMP adalah 13 tahun. Jadi usia yang diterima masih dalam batas normal. Artinya, anak-anak yang diterima masih anak usia sekolah di bawah usia maksimal yang dipersyaratkan dalam peraturan pemerintah, demikian kata Retno.*

Baca juga: KPAI dorong seluruh dinas pendidikan buat Juknis pelaksanaan PPDB 2020

Baca juga: KPAI ingatkan banyak daerah belum keluarkan juknis PPDB saat pandemi

Pewarta: Katriana
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020