Aktivis dari Indonesia dan Filipina, misalnya, mengungkapkan hal tersebut dalam webinar yang digelar pada Jumat, dengan merujuk pada kondisi penggunaan aplikasi penelusuran kontak di negara-masing.
Peneliti HAM dari lembaga studi ELSAM di Indonesia, Lintang Setianti, yang mengutip Big Data Institute Universitas Oxford, menyebut harus ada setidaknya 60 persen dari total populasi di suatu negara yang menggunakan aplikasi tersebut untuk melihat bahwa penggunaannya telah efektif.
"Hal ini menjadi problematis di Indonesia, karena kami masih mengalami kesenjangan teknologi dalam hal akses terhadap internet dan juga infrastruktur, sekalipun angka pengguna telepon pintar di negara ini kian meningkat," kata Lintang.
Selain itu, dia menambahkan bahwa penggunaan aplikasi digital untuk menelusuri kontak pun mesti dibarengi dengan infrastruktur kesehatan yang memadai, terutama pengujian deteksi COVID-19 yang dapat dijangkau oleh semua orang.
"Penggunaan teknologi tidak akan serta merta menggantikan aksi nyata untuk menangani wabah, ... prioritas utama yakni masih mengenai bagaimana pemerintah dapat menyediakan infrastruktur kesehatan bagi masyarakat," ujar Lintang menambahkan.
Jamael Jacob, manajer privasi dan perlindungan data pada Foundation for Media Alternatives di Filipina, menyebut setidaknya ada tiga faktor yang menentukan efektivitas penggunaan aplikasi penelusuran kontak terkait dengan perlindungan data.
Ketiganya adalah intervensi yang tepat waktu dan tepat guna, kemauan dari pengatur kebijakan, serta kerja sama antarlembaga pemerintah.
"Sayangnya, saya tidak bisa katakan bahwa saat ini saya melihat ketiga faktor tersebut (dalam implementasi penggunaan aplikasi di Filipina). Pemerintah cukup perhatian dengan menyebarkan informasi, tetapi tidak ada kebijakan konkret ... untuk menindak pelanggar aturan perlindungan data," kata Jamael.
Menurut data DigitalReach, organisasi yang bergerak di bidang digital dan kaitannya dengan HAM Asia Tenggara, terdapat 11 aplikasi penelusuran kontak COVID-19 yang dijalankan di enam negara ASEAN.
Aplikasi tersebut adalah PeduliLindungi (Indonesia), StaySafe.ph (Filipina), Mor Chana dan Thai Chana (Thailand), TraceTogether, SafeEntry, dan TraceTogether Token (Singapura), Gerak Malaysia, MySejahtera, dan MyTrace (Malaysia), serta Bluezone (Vietnam).
Di Indonesia sendiri, aplikasi PeduliLindungi tercatat baru diunduh oleh sekitar enam persen dari total populasi, menurut keterangan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI pada 10 Juni 2020.
Baca juga: Yogyakarta intensifkan pelacakan penularan COVID-19 semua klaster
Baca juga: Eropa luncurkan inisiatif aplikasi pelacakan kontak infeksi corona
Baca juga: Apple, Google buat teknologi pelacakan kontak perangi COVID-19
Presiden perintahkan telusuri COVID-19 dengan teknologi komunikasi
Pewarta: Suwanti
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020