"Kami sampai kewalahan melayani pesanan bahkan banyak konsumen dari luar Madura yang datang ke sini terpaksa kami tolak," kata perajin yang sekaligus pengusaha batik di Desa Klampar, Kecamatan Proppo, Pamekasan kepada ANTARA News, Sabtu.
Menurut Ahmadi, peningkatan konsumen batik itu terjadi sejak UNESCO mengakui batik sebagai warisan pusaka budaya dunia pada tanggal 2 Oktober lalu.
Dia mengatakanu, setelah adanya pengakuan tersebut, hampir semua institusi pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat provinsi mewajibkan pegawainya memakai batik.
Hal itu berpengaruh terhadap penjualan batik dan bukan hanya dialami dirinya, namun hampir semua perajin batik yang ada di wilayah Kecamatan Proppo.
"Jadi kami sangat merasakan batul kebijakan pemerintah ini terhadap peningkatan penjualan batik tulis," katanya.
Menurut Ahmadi, dirinya terpaksa menambah karyawan dari sebelumnya hanya sebanyak 300 orang, kini menjadi 560 orang.
Tidak hanya itu, omzet penjulan juga meningkat. Biasanya dalam setahun omset penjualan batik miliknya itu maksimal hanya Rp1 miliar, namun saat ini sudah mencapai Rp2,5 miliar lebih. "Jadi peningkatannya luar biasa," kata Ahmadi.
Jenis motif batik tulis yang paling banyak diminati pembeli, menurut Ahmadi ialah motif "liris".
Motif ini merupakan ciri khas motif batik tulis yang ada di Desa Klampar, sebagaimana batik tulis motif "gentong" di Desa Tanjung Bumi, Bangkalan.
Hanya saja, harga motif batik "liris" tersebut jauh lebih mahal dibanding motif batik tulis pada umumnya, seperti motif "karmangkok" ataupun motif "karpote" karena prosesnya membutuhkan waktu yang lama, yakni antara 6 hingga 9 bulan. Harganya juga jauh lebih mahal, yakni antara Rp3 juta hingga Rp5 juta.
"Kalau yang biasa, yaitu yang bisa diselesaikan dalam waktu tiga hari harganya hanya Rp75 ribu hingga Rp100 ribu per lembar," katanya. (*)
Pewarta: handr
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009