• Beranda
  • Berita
  • Anggota DPR: Preseden buruk marak calon tunggal lawan kotak kosong

Anggota DPR: Preseden buruk marak calon tunggal lawan kotak kosong

10 Agustus 2020 10:38 WIB
Anggota DPR: Preseden buruk marak calon tunggal lawan kotak kosong
ilustrasi Pilkada serentak (ANTARA News/Ridwan Triatmodjo)

Banyaknya calon tunggal tanda demokrasi yang tidak sehat, turunkan ambang batas pencalonan untuk pilkada itu salah satu cara, syarat 5-10 persen kursi sudah cukup. Itu memudahkan banyaknya partai mencalonkan pasangan

Anggota Komisi II DPR Fraksi PAN Guspardi Gaus mengaku prihatin dengan adanya prediksi sejumlah calon tunggal di 31 daerah berpotensi melawan kotak kosong pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 9 Desember 2020, yang menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia.

"Ini menurut saya merupakan preseden buruk dalam rangka pendidikan politik dan pendidikan demokrasi," kata Guspardi dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Dia menilai pilkada adalah kompetisi tentang visi dan misi antarcalon kepala daerah sehingga banyaknya calon tunggal menyebabkan tidak terwujudnya substansi pilkada.

Baca juga: KPU Bali tak ingin calon lawan kotak kosong di Pilkada 2020

Hal itu menurut dia karena yang dihadapi adalah kotak, artinya tidak punya otak, dia tidak punya visi dan misi, padahal Indonesia memiliki penduduk terbesar keempat di dunia.

Menurut Guspardi Adanya kemungkinan calon tunggal di daerah 31 daerah tersebut membuktikan bahwa upaya untuk melakukan pendidikan politik, dan demokasi tersebut telah mengalami pasang surut dalam memilih pemimpin masa depan.

"Dan itu juga sebagai pertanda demokrasi itu tidak sehat. Karena itu perlu ada terobosan yang dilakukan melalui undang-undang yang berkaitan pilkada atau pemilu," ujarnya.

Politisi PAN itu menilai fenomena calon tunggal yang melaju sendiri alias menghadapi kotak kosong di pilkada menambah daftar metode culas yang berdampak buruk bagi demokrasi tersebut.

Karena itu Guspardi mendesak agar cara seperti itu tidak dilakukan jika ingin membangun daerah dengan baik, karena kalah dan menang tidak bisa dijadikan esensi utama dalam pilkada.

Namun menurut dia, menghadirkan khazanah demokrasi yang lurus dan bersih agar tercipta pendidikan politik masyarakat yang baik adalah esensi yang sebenarnya, tujuannya adalah kesejahteraan masyarakat.

"Banyaknya calon tunggal tanda demokrasi yang tidak sehat, turunkan ambang batas pencalonan untuk pilkada itu salah satu cara, syarat 5-10 persen kursi sudah cukup. Itu memudahkan banyaknya partai mencalonkan pasangan," ujarnya.

Baca juga: Respon Hasto soal Gibran akan melawan kotak kosong di Pilkada Solo
Baca juga: Hendi lawan kotak kosong?

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020