Seperti dilaporkan AFP, sebagian pemimpin mengatakan perjanjian antara kelompok inti para pemimpin di Kopenhagen adalah yang terbaik daripada tidak sama sekali.
Mereka hanya membuat sedikit upaya untuk menutupi kemerosotan sikap, terutama yang berkaitan dengan gagalnya negara-negara berkembang menandatangani target mengikat dalam hal pengurangan emisi gas rumah kaca.
"Ini bukan perjanjian yang sempurna, ini tidak akan memecahkan tekanan iklim, ancaman iklim terhadap umat manusia," kata Perdana Menteri Swedia Fredrik Reinfeldt, yang negaranya mendapat giliran memimpin Uni Eropa.
Jose Manuel Barroso, ketua komisi Uni Eropa, mengatakan kurangnya legalitas perjanjian yang mengikat merupakan masalah yang memprihatinkan.
"Perjanjian ini lebih baik ketimbang tidak ada kesepakatan, namun itu bukanlah tindakan terbesar," kata Barroso kepada para wartawan."Tingkat ambisi ini bukan apa yang kita harapkan," ia menambahkan.
Secara sepihak Uni Eropa, Desember lalu, menyetujui pengurangan emisinya 20 persen pada 2020 dari tingkat 1990, dan menjanjikan akan meningkatkan angka itu menjadi 30 persen jika negara-negara lain mematuhi kesepakatan Konpenhagen.
"Kami datang ke sini untuk berupaya dan mencari energi positif di dalam proses ini," kata Reinfeldt.
Namun, harapan bahwa kesepakatan 30 persen akan mengilhami pihak lain mendapat sambutan luas. China serta Amerika Serikat, dua penghasil polusi terbesar dunia, ternyata memberikan tawaran segar.
Ketika ditanya pada satu konferensi pers mengenai sikap China, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menghantam Beijing karena "lekatnya versi mereka terhadap apa yang tidak dilakukan oleh organisasi internasional".
Brown mengatakan bahwa perjanjian di Kopenhagen, yang masih memerlukan persetujuan oleh 194 negara anggota PBB yang berkumpul di ibukota Denmark tersebut, hendaknya hanya mengacu sebagai langkah pertama ke arah satu perjanjian resmi yang mengikat.
Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan dia mengamati hasil itu dengan perasaan bercampur, dan menyatakan itu "hanya sebagai alternatif terhadap perjanjian yang akan gagal".
Merkel, yang menawarkan menjadi tuan rumah pertemuan berikutnya pada pertengahan 2010, mengatakan bahwa tenaga pada Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) perlu mendapatkan dukungan, seperti halnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB.
"Apa yang kita perlukan adalah organisasi lingkungan PBB yang bisa mengawasi pelaksanaan proses iklim," katanya.
Seperti timpalannya, Presiden Prancis Nicolas Sarkozy mengatakan kesepakatan hanya bisa dicapai setelah KTT mengatasi keretakan yang dalam.
"Perjanjian memang tidak sempurna, namun inilah mungkin yang terbaik sekarang," kata Sarkozy kepada para wartawan. (*)
Pewarta: adit
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009