• Beranda
  • Berita
  • Antropolog Unair: Isolasi dan masker berperan kendalikan Flu Spanyol

Antropolog Unair: Isolasi dan masker berperan kendalikan Flu Spanyol

12 Agustus 2020 19:13 WIB
Antropolog Unair: Isolasi dan masker berperan kendalikan Flu Spanyol
Seorang warga menjemur masker yang telah dicuci untuk digunakan kembali di Surabaya, Jawa Timur beberapa waktu lalu. (ANTARA/Zabur Karuru)
Antropolog Universitas Airlangga Surabaya, Toetik Koesbiarti menyatakan isolasi mandiri, menjaga kebersihan dan penggunaan masker turut berperan penting dalam pengendalian Flu Spanyol yang mewabah di Jawa Timur pada masa Perang Dunia I.

"Ada tiga hal yang berperan penting mengendalikan Flu Spanyol waktu itu, yakni isolasi yang saat ini disebut isolasi mandiri, menjaga kebersihan atau saat ini cuci tangan dan penggunaan masker," ujarnya di Surabaya, Rabu.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair tersebut menjelaskan Flu Spanyol adalah virus yang mewabah di dunia pada masa Perang Dunia I dan mewabah di Indonesia atau di Jatim pada rentang tahun 1918 hingga tahun 1920.

Flu Spanyol bukanlah berasal dari Spanyol, namun disebut demikian karena ada tentara yang kebetulan terkirim ke Eropa dan saat itu ditemukan wabah flu di Spanyol.

Baca juga: Wabah di Hindia Belanda dorong nasionalisme pribumi

Baca juga: Sejarawan UI sebut pandemi COVID-19 mirip wabah flu spanyol 1918


Flu Spanyol merebak di Indonesia, seperti di Palembang dan paling banyak Jawa karena banyak tentara yang singgah di pelabuhan Jawa.

"Orang yang terinfeksi Flu Spanyol akan mengalami demam. Tapi masyarakat saat itu tidak tahu dan menanggap jika mengalami demam berarti sedang terkena kolera atau disentri yang terlebih dahulu merebak," ucap lulusan Universitas Hamburg, Jerman tersebut.

Banyaknya orang yang terinfeksi, kata Toetik, membuat pemerintah kolonial mencari tahu penyebabnya dan kesimpulan sementara saat itu wabah penyakit dibawa oleh angin.

Selanjutnya oleh dokter Belanda disimpulkan bahwa demam tersebut disebabkan oleh nyamuk yang ternyata membuat rancu karena adanya demam yang disebabkan oleh nyamuk dan penyakit malaria.

Toetik memaparkan pada akhir tahun 1918 Jawa Timur terkena wabah Flu Spanyol, dengan Surabaya menjadi pusat penyebaran, sama seperti saat ini.

"Orang lokal menganggap wabah ini sebagai gangguan dari mahkluk halus. Sehingga warga pun memberikan persembahan dan darah hewan tersebut ditabur di depan rumah," katanya.

Pada tahun 1920, lanjut dia, korban Flu Spanyol paling banyak berasal dari Jatim.

Wabah Flu Spanyol menewaskan hampir tiga persen dari populasi di Indonesia yang menjadi negara ketiga korban paling banyak setelah Amerika Serikat dan China.

"Setelah diselidiki, ada kesimpulan bahwa virus tersebut berasal dari luar yang dibawa melalui kerumunan orang yang saat itu dibawa dari kapal," katanya.

Pemerintah Hindia Belanda pun membuat Undang-Undang semacam surat izin masuk dengan pernyataan dewan kesehatan atau sama seperti saat ini.

Untuk mengatasi wabah tersebut juga diberikan obat herbal atau ramuan tradisional, lalu dari aspek obat medis juga ada, namun belum vaksin paten.

"Yang jadi persoalan adalah diagnosis yang tidak tepat. Seperti orang terpapar Flu Spanyol didiagnosis malaria sehingga diberikan obat bernama kina untuk membunuh demam. Juga diberikan obat candu untuk menurunkan rasa sakit," tuturnya.

Sementara untuk penggunaan masker, Toetik belum menemukannya secara khusus.

Tapi berdasar analisisinya, karena Indonesia saat itu di bawah pemerintah Kolonial Hindia Belanda, penggunaan masker pasti ada merujuk penggunaan masker di tempat asal wabah itu di Spanyol, wilayah Eropa dan Amerika Serikat.

"Saya tidak menemukan tulisan secara spesifik penggunaan masker. Tapi menurut analisa saya ada indikasi penggunaan masker karena pengaruh dari Pemerintah Hindia Belanda saat itu," katanya.

Mengenai pola penularannya, Flu Spanyol hampir sama seperti COVID-19 saat ini.

Yang membedakan adalah Flu Spanyol banyak menyebabkan anak muda meninggal dunia karena tentara saat itulah adalah pemuda-pemuda yang berkumpul.

"Saat ini korban paling banyak orang tua dengan komorbid," ujarnya.

Sementara untuk pola penangan relatif sama seperti penanganan COVID-19 dan masyarakat diimbau melakukan isolasi, menjaga kebersihan dan bermasker.

"Dahulu juga ada isolasi mandiri. Kemudian mereka menyebut menjaga kebersihan tubuh, saat ini cuci tangan dan bermasker. Kurang lebih masih sama," katanya.*

Baca juga: Doni Monardo: Bencana peristiwa berulang termasuk pandemi

Baca juga: Ikhtiar melepas belenggu virus corona

Pewarta: Fiqih Arfani/Willy Irawan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020