Dari total produksi minyak Indonesia yang saat ini mencapai 900 ribu barel per hari, maka 50 persennya harus dikirim ke luar negeri mengingat 85 persen sektor migas dikuasai oleh asing.
Di sisi lain, kebutuhan minyak untuk konsumsi dalam negeri sudah mencapai 1,4 juta barel per hari, sehingga masih perlu impor sekitar 950 ribu barel per hari. Sementara produksi minyak Indonesia terus mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir.
Itu semua merupakan indikasi yang sangat jelas telah terjadi kekeliruan dalam pengelolaan migas di Indonesia, tegas Ketua Kaukus Migas Nasional, Effendi Siradjuddin, saat ditemui pada acara seminar "Proyeksi Energi: Quo Vadis Perpanjangan
Kontrak Bagi Produksi" yang diprakarsai Perum LKBN ANTARA, awal pekan ini.
Ia menuturkan jumlah perusahaan migas swasta nasional saat ini hanya sekitar 60 buah. Rata-rata produksinya ada di kisaran 100 sampai 1.000 barel per hari (bph). Yang di atas dua ribu bph hanya beberapa perusahaan saja. Kalau ditotal, maka produksi perusahaan nasional cuma 60 ribu bph atau enam persen dari rata-rata produksi minyak nasional yang hampir mencapai satu juta bph.
Jika dibandingkan dengan negara lain, kondisinya sangat menyedihkan. Di China, misalnya, hampir 95 persen kegiatan industri hulu migas didominasi perusahaan dalam negeri. Di Kanada, hampir 80 persen. Bahkan di negeri jiran Malaysia, partisipasi nasional mencapai sekitar 30-40 persen.
Partisipasi ini mengakibatkan kecilnya dana hasil perputaran bisnis hulu migas yang mengendap di dalam negeri. Dari pola belanja barang dan jasa selama ini, Indonesia hanya menikmati 10 persen saja dari rata-rata belanja barang dan jasa perusahaan hulu migas yang mencapai 10 miliar dolar AS per tahun.
Menurut Effendi, pengelolaan migas di Indonesia telah gagal memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 secara tegas dinyatakan bahwa kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kegagalan pengelolaan migas diperparah dengan pemberlakuan Undang-Undang (UU) No22/2001 tentang minyak dan gas bumi (Migas). UU ini telah menghilangkan kemauan politik (political will) terkait pentingnya menciptakan kemandirian di bidang migas atau agar migas ditangani bangsa sendiri.
Padahal, ketentuan yang menghindarkan ketergantungan pada asing itu jelas diatur dalam UU No 8/1971 tentang Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Negara serta Perpu No.44/1960.Mengutip bagian penjelasan Perpu 44/1960, antara lain disebutkan bahwa bahan galian migas bukan saja mempunyai sifat-sifat khusus, tetapi hasil-hasil pemurnian dan pengolahannya adalah penting bagi hajat hidup orang banyak dan pertahanan nasional.
Itu sebabnya dalam Perpu tersebut ditentukan bahwa pengusahaan migas hanya dapat diselenggarakan oleh negara dan pelaksanaan pengusahaan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan negara. Dengan begitu diharapkan kemanfaatan bahan galian migas dapat terjamin dalam rangka penyusunan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
"Harusnya UU Migas itu segera dicabut dan kembali ke UU No 8/1971 tentang Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Negara serta Perpu No.44/1960," kata Effendi yang juga Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas).
Nasionalisasi
Kalaupun pemerintah enggan mencabut UU Migas, Kaukus mengajukan setidaknya empat usulan agar produksi minyak nasional bisa naik hingga 1,3 juta barel per hari (bph) dalam jangka waktu tiga tahun.
Pertama, sederhanakan prosedur yang memungkinkan operasi di lapangan tanpa menunggu persetujuan tertulis dalam plan of development (PoD) wajib pajak badan (WP/B). Kedua, menerapkan model kontrak baru berbasis pajak dan royalti, bukan dengan kontrak bagi hasil (PSC).
Dengan begitu, BP Migas tidak perlu mencampuri pengelolaan internal perusahaan minyak. Misalnya, pendapatan kontraktor bisa langsung ditetapkan persentasenya dari penghasilan minyak setelah dikurangi pajak.
Ketiga, ketentuan penghitungan DMO (domestic market obligation) dilakukan setelah produksi mencapai 50 persen dari kapasitas produksi komersial. Keempat, blok-blok migas yang kini berada di tangan investor asing perlu dinasionalisasi.
Effendi menjelaskan, nasionalisasi versi Kaukus Migas berbeda dengan yang terjadi di Venezuela dan Bolivia, karena pemerintah langsung mengambil alih kepemilikan blok yang dikelola asing. Kaukus hanya meminta, pemerintah tidak memperpanjang kontrak-kontrak kerja sama dengan asing yang akan berakhir. Seluruh blok yang nantinya ditinggalkan perusahaan asing itu diserahkan kepada pengusaha migas nasional untuk dikelola sendiri.
Data yang ada di Kaukus, setidaknya ada 23 kontrak bagi hasil (production sharing contract) yang akan selesai masa kontraknya hingga 15 tahun ke depan. Di antaranya, Kodeco pada 2011, Chevron East Kalimantan pada 2016, Total Indonesie dan BP NW Java Sea pada 2017, dan Chevron Pacific Indonesia pada 2021.
PT Medco Energi International Tbk merupakan contoh sukses pengalihan tersebut. Setelah mengambil alih Tesoro dan Stanvac, Medco meningkatkan produksi minyak dari 5.000 barel per hari (bph) menjadi 7.000 bph. Hal ini terjadi karena Medco sukses memperbaiki efisiensi dalam pengangkatan minyak ke permukaan.
Karena itu, biar bagaimanapun kondisinya, ladang migas yang kontraknya habis harus diserahkan kepada pihak nasional. Termasuk, jika ternyata blok itu masih potensial sehingga peran investor asing cukup di lapangan-lapangan baru.
Pada saat yang sama, kepentingan Kaukus sejalan dengan target pemerintah dalam menggenjot produksi migas. Hal itu terkait dengan banyaknya "lapangan tidur" dalam wilayah kerja asing yang dibiarkan karena dinilai tidak ekonomis lagi.
Untuk mengeksploitasi barang sisa itu, dibutuhkan teknologi yang lebih kompleks dan lebih berisiko. Perusahaan multinasional semacam ExxonMobil, BP, atau Chevron biasanya tidak begitu tertarik, karena tidak menguntungkan. Padahal, kalau diproduksikan kembali, sumur-sumur itu mampu memproduksi minimal 50-100 ribu bph, tegas Effendi.
Kaukus bahkan memperkirakan banyak lapangan tua yang kandungan migasnya masih mencapai 35 persen dari total produksi blok tersebut di saat normal. Misalkan blok migas Z mempunyai kandungan minyak mencapai satu juta barel, maka ketika ditambang, yang
tersedot mungkin hanya sebesar 60-70 persen. Sisanya yang mengendap inilah yang dibidik Kaukus.
"Jika ada nasionalisasi, perolehan perusahaan migas nasional yang saat ini hanya satu miliar dolar bisa dipacu menjadi sembilan miliar dolar AS atau 90 persen dari total belanja perusahaan hulu migas per tahun," katanya.
Meski begitu bagi Kaukus, nasionalisasi belum merupakan tujuan akhir. Tujuan akhir dari wacana ini adalah meningkatkan partisipasi nasional dalam industri hulu migas di Indonesia. Artinya, Pertamina bersama-sama dengan swasta nasional, BUMD dan koperasi membentuk konsorsium nasional--Effendi mengistilahkan sebagai Indonesia Incorporated, untuk mengelola sendiri kekayaan migas nasional dan kemudian "go international".
Revisi UU Migas
Menurut pengamat perminyakan dari Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES) Dr.Kurtubi, untuk mewujudkan konsorsium nasional tersebut, UU Migas harus diamandemen terlebih dulu.
Sebelum ada UU Migas, blok migas memang bisa langsung digarap dan diteruskan oleh Pertamina. Sekarang, peran itu dimainkan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas). Padahal BP Migas hanyalah regulator, bukan perusahaan.
"Karena itu, revisi dulu UU migas sekarang," kata Kurtubi. Kemudian diatur bahwa nasionalisasi sebuah blok bisa dilakukan setelah masa kontrak berakhir dan blok diserahkan kepada Pertamina sebagai wakil negara. Setelah itu, baru Pertamina diwajibkan memilih perusahaan nasional lain untuk digandeng, katanya.
Buat pemerintah , tentu tidak akan begitu saja menyetujui wacana nasionalisasi mengingat implikasinya terhadap investasi. Iklim investasi dalam negeri bisa saja akan terganggu jika perusahaan asing hanya diberi hak satu periode eksploitasi tanpa adanya opsi perpanjangan. Lagi pula, blok yang sudah habis masa kontraknya memang otomatis kembali menjadi milik negara.
BP Migas sebagai pemberi kuasa penuh wilayah kerja migas di Tanah Air juga merasa telah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi BUMN maupun swasta nasional untuk mengelola kekayaan energi fosil di bumi Indonesia.
Wakil Kepala BP Migas Hadi Purnomo bahkan mengakui, pemerintah telah memberikan sejumlah hak istimewa kepada Pertamina agar menjadi perusahaan yang maju.
"Pertamina memiliki `privilege` yakni bisa meminta suatu blok migas yang telah habis masa kontraknya," katanya.
Keistimewaan lainnya adalah porsi bagi hasil yang lebih besar yakni 60 persen buat pemerintah dan 40 persen buat Pertamina. Pertamina bisa pula mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu sepanjang 100 persen sahamnya dimiliki BUMN tersebut dan dapat memasarkan minyak dan gas bagian Negara, kata Hadi Purnomo.
Diharapkan keberpihakan terhadap industri migas nasional tersebut bisa terus dilakukan baik melalui pembenahan regulasi maupun pengawasan. Perbaikan iklim investasi juga tidak boleh kendor agar prospek investasi sektor hulu migas di dalam negeri tetap cerah.
Dari data geologis, ada sekitar 60 cekungan hidrokarbon yang tersebar di dalam bumi Indonesia dengan perkiraan kandungan minyak bumi 86,9 miliar barel dan gas sekitar 384 triliun standar kaki kubik (TSCF).
Hal itu membuktikan secara geologis, sektor migas Indonesia masih menarik bagi investor.(*)
Oleh Oleh: Faisal Yunianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009